A. Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (growth) merupakan perubahan aspek fisik jasmaniah seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada organ-organ dan struktur organ fisik, sehingga anak semakin bertambah umurnya semakin besar dan semakin tinggi pula badannya. Pertumbuhan ini bersifat kuantitatif artinya dapat diukur seperti berat dan tinggi. Berk (2012: 156), menjelaskan bahwa ada dua pola pertumbuhan. Pola pertama adalah sefalokaudal (cephalocaudal trend), selama periode pralahir, kepala berkembang lebih cepat daripada bagian bawah tubuh. Saat lahir, kepala mengambil seperempat dari keseluruhan panjang tubuh, sementara kaki hanya sepertiga. Pada usia 2 tahun, kepala hanya seperlima, sementara kaki hampir separuh panjang tubuh.
Pola kedua, tren proksimodistal (proximodistal trend), pertumbuhan berlangsung secara harfiah dari ‘dekat ke jauh’ dan dari ‘pusat tubuh ke luar’. Pada periode pralahir, kepala, dada, dan badan tumbuh pertama kali, kemudian lengan dan kaki, dan akhirnya tangan dan kaki. Selama masa bayi dan kanak-kanak kaki terus tumbuh sedikit mendahului tangan dan kaki.
Perkembangan merujuk pada bagaimana orang tumbuh, menyesuaikan diri, dan berubah sepanjang perjalanan hidupnya, melalui perkembangan fisik, perkembangan kepribadian, perkembangan sosioemosi, perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Menurut Lerner (Berk: 2012: 5), ilmu perkembangan (developmental science),merupakan sebuah bidang studi yang bermaksud memahami keajekan dan perubahan di sepanjang masa hidup manusia. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ilmu perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari perubahan di sepanjang hidup manusia.
Pengertian mengenai perkembangan dikemukakan oleh beberapa ahli. Sigelman & Rider (2012: 2) mendefinisikan bahwa:
“Development can be defined as systematic changes and continuities in the individual that occur between conception and death, or from “womb to tomb”. Develompent entails many changes; by describing these changes as systematic, we imply that they are orderly, patterned, and relatively enduring-not fleeting and unpredictable like mood swings. Development also involves continuities, ways in which we remain the same or continue to reflect our past selves”.
Perkembangan merupakan perubahan yang terjadi secara berkesinambungan dan sistematik pada individu berlangsung antara konsepsi dan kematian atau diibaratkan dari “rahim ke makam”. Perkembangan memerlukan banyak perubahan, perubahan ini terjadi secara sistematis, berpola, relatif tahan lama, dan tidak dapat diprediksi seperti perubahan suasana hati. Selain itu, menurut Santrock (2007: 7) perkembangan adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan merupakan perubahan yang terjadi secara berkesinambungan (kontinu) dan merupakan sistem yang dinamis, dimana sebuah proses yang berlangsung terus-menerus mulai sejak pembuahan hingga kematian yang terbentuk oleh suatu jaringan kompleks pengaruh biologis, psikologis, dan sosial.
Desmita (2012: 8) mendefinisikan bahwa perkembangan secara luas adalah keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Perkembangan juga mencakup konsep usia yang diwakili dari saat pembuahan dan berakhir dengan kematian. Perkembangan menghasilkan bentuk-bentuk dan ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap yang lebih tinggi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Jamaris (Desmita, 2012: 8) mengungkapkan bahwa perkembangan manusia secara psikologis merupakan suatu yang merujuk pada perubahan-perubahan tertentu yang terjadi dalam kehidupan manusia, sejak masa konsepsi sampai mati. Perubahan dalam perkembangan manusia terjadi secara berurutan dan setiap urutan perubahan mempunyai masa tertentu yang relatif panjang, seperti masa usia dini, masa kanak-kanak, masa remaja, dan masa lanjut usia.
Lebih spesifik, Seifert & Hoffnung (Desmita: 2012: 15) berpendapat bahwa perkembangan sebagai “Long-term changes in a person’s growth, feelings, patterns of thinking, social relationships, and motor skills”. Perkembangan merupakan perubahan jangka panjang individu berupa pertumbuhan, perasaan, kemampuan berpikir, interaksi sosial, dan ketrampilan motoriknya. Chaplin (Desmita, 2012: 15) mengungkapkan bahwa perkembangan sebagai: (1) perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati, (2) pertumbuhan, (3) perubahan bagian-bagian jasmaniah ke dalam bagian-bagian fungsional, (4) kedewasaan kemunculan tingkah laku yang tidak dipelajari.
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Baller dan Charles (1986: 101) mendefinisikan bahwa perkembangan merupakan perubahan tingkah laku yang tersusun dan teratur. Semua perubahan dalam perkembangan ini akan membantu individu dalam proses mencapai kematangan. Perkembangan merupakan perubahan kualitatif yang tidak dapat diukur secara kuantitatif. Perubahan menunjukkan sifat yang berbeda daripada tahap perkembangan yang terdahulu.
Senada dengan pendapat di atas Wolfoolk (2004: 29) mengemukakan bahwa perkembangan adalah perubahan pada struktur, pendapat dan tingkah laku individu. Perkembangan juga merupakan perubahan yang bersifat kualitatif tetapi dapat dilihat dengan membandingkan sifat yang terdahulu dengan sifat yang terbentuk. Dengan kata lain, perkembangan boleh juga dianggap sebagai proses dimana individu itu mencapai kematangan, pengukuhan dan kestabilan.
Crow juga berpendapat bahwa perkembangan merupakan perubahan secara kualitatif serta cenderung ke arah lebih baik dari segi pemikiran, rohani, moral dan sosial. Lebih lengkap Wright dan Ann Taylor (Baller & Charles, 1986: 104) menyatakan bahwa perkembangan sebagai perubahan yang berlaku dalam warisan hayat (baka) dan organisasi kepada struktur organisma dalam keadaan saling berkait serta berhubungan dengan pertambahan umur. Perkembangan membawa sesuatu organisme keperingkat matang berterusan berlaku walaupun peringkat kematangan telah dilampaui. Menurut Sigelman & Rider (2012: 2-3):
“the systematic changes and continuities of interst to students of human development fall into three domains: (1) Physical development. The growth of the body and its organs, the functioning of physiological system including the brain, physical signs of aging, changes in motor abilities, and so on; (2) Cognitive development. Changes and continuities in perception, language, learning, memory, problem solving, and other mental processes; (3) Psychosocial development. Changes and carryover in personal and interpersonal aspects of development, such as motives, emotions, personality traits, interpersonal skills and relationship, and roles played in the family and in the larger society.
Secara sistematis perkembangan terdiri dari tiga domain, yaitu perkembangan fisik (pertumbuhan tubuh, organ tubuh, berfungsinya sistem fisiologis termasuk otak, tanda fisik mengalami penuaan, perubahan kemampuan motorik, dll); perkembangan kognitif (perubahan dan kontinuitas dalam persepsi, bahasa, ingatan, pemecahan masalah, dan proses mental lainnya); dan perkembangan psikososial (perubahan aspek personal maupun interpersonal seperti motivasi, emosi, interaksi dan ketrampilan perkembangan interpersonal, peraturan dalam keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas).
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa perkembangan adalah perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu mulai lahir sampai mati dalam rentang sepanjang hidup manusia. Perkembangan itu melibatkan banyak faktor, dan terjadi pada setiap periode kehidupan manusia yang terjadi secara proses kualitatif dan kuantitatif.
Setiap manusia yang hidup di muka bumi ini akan selalu mengalami perkembangan dalam kehidupannya. Meskipun setiap manusia memiliki keunikan masing-masing dalam proses perkembangannya. Namun, perkembangan hidup manusia secara umum dapat dikatakan memiliki urutan dalam kesamaan dan meskipun memiliki perbedaan dalam kecepatannya.
B. Teori Perkembangan Manusia
Di pertengahan abad ke-20, studi perkembangan manusia berkembang menjadi sebuah disiplin absah. Seiring dengan meningkatnya minat pada disiplin beragam teori kemudian bermunculan dan masing-masing teori memiliki pengikutnya hingga saat ini. Berk (2012: 34), memetakan teori perkembangan manusia berdasarkan masalah pokok dalam perkembangan manusia.
Tabel 2.1. Posisi Setiap Teori Utama Atas Masalah Pokok dalam Perkembangan Manusia
Teori | Perkembangan Kontinu/ Diskontinu | Perkembangan Satu Arah/ Multi-Arah | Pengaruh Relatif Bawaan dan Pengasuhan |
Perspektif Psikoanalisis | Dskontinu: psikoseksual dan psikososial berlangsung dalam | Satu arah: tahapan diasumsikan universal | Bawaan dan pengasuhan: dorongan bawaan disalurkan dan dikendalikan melalui pengalaman pengasuhan anak. pengalaman awal menentukan arah perkembangan selanjutnya. |
Behaviorisme dan Teori Belajar Sosial | Kontinu: Perkembangan melibatkan peningkatan perilaku yang dipelajari | Kemungkinan multiarah: Perilaku yang diperkuat dan ditiru bisa berbeda antaa setiap orang. | Penekanan pada pengasuhan: perkembangan adalah hasil pengondisian dan pemodelan. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Teori Perkembangan Kogniti Piaget | Diskontinu: Perkembangn kognitif berlangsung dalam tahapan | Satu arah: tahapan diasumsikan universal. | Bawaan dan pengasuhan: perkembangan berlabgsung saat otak tumbuh dan anak-anak menggunakan dorongan bawaan mereka untuk menemukan realitas dalam sebuah lingkungan stimulant. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Pengolahan Informasi | Kontinu. Anak dan orang dewasa berangsur-angsur mengalami perubahan persepsi, perhatian, memori, dan keterampilan dalam penanggulangan masalah | Satu arah: Perubahan yang dipelajari mencirikan kebanyakan atau semua anak dan orang dewasa. | Bawaan dan pengasuhan: anak-anak dan orang dewasa adalah makhluk aktif dan logis yang mengubah pikiran mereka saat otak tumbuh dan mereka menghadapi tuntutan lingkungan baru. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Etologi dan Psikologi Perkembangan Evolusioner | Kontiu dan diskontinu: Anak dan orang dewasa berangsur-angsur mengembangkan banyak sekali perilaku adaptif. | Satu arah: perilaku adaptif dan periode peka berlaku pada semua anggota spesies | Bawaan dan pengasuhan: evolusi dan pewarisan mempengaruhi perilaku, dan pembelajaran memberikan lebih banyak fleksibilitas dan adaptivitas padanya. Selama periode peka, pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Teori Sosiokultural Vygotsky | Kontinu dan Diskontinu: Perkembangan bahasa dan sekolah memicu perubahan dalam tahapan. Percakapan dengan anggota masyarakat yang lebih cakap juga memunculkan perubahan kontinu berbeda antar setiap budaya | Kemungkinan multiarah: Perubahan sosial tidak langsung pada pikiran dan perilaku beragam antar setiap budaya. | Bawaan dan pengasuhan:pewarisan, pertumbuhan otak, dan percakapan dengan anggota masyarakat yang lebih cakap sama-sama berperan bagi perkembangan. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Teori system Ekologis | Tidak ditentukan | Kemungkinan multiarah: Predisposisi biologis bergabung bersama kekuatan lingkungan pada banyak tingkatan untuk membentuk perkembangan dengan cara yang khas. | Bawaan dan pengasuhan:sifat-sifat seseorang dan reaksi orang lain saling memengaruhi satu sama lain dalam dwi arah. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
Perspektif Masa Hidup | Kontinu dan Diskontinu. Terjadi kemajuan dan kemunduran bersinambung dan kemunculan bertahap dan tidak bersinambung keterampilan baru | Kemungkinan multiarah: Perkembangn dipengaruhi oleh beragam kekuatan biologis, psikologis, dan sosial yang saling berinteraksi, berbeda antar setiap orang, dan melahirkan arah perubahan yang berbeda. | Bawaan dan pengasuhan: perkembangan sifatnya multidimensi dan dipengaruhi oleh gabungan kompleks faktor keturunan dan lingkungan. Menekankan plastisitas di segala usia. Pengalaman awal dan selanjutnya sama-sama penting. |
C. Hakikat Perkembangan Kognitif
1. Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Menurut Piaget (Berk, 2012: 196), struktur psikologis khas merupakan cara terorganisasi dalam memahami pengalaman yang disebut dengan skema (schemes). Dalam teori Piaget, dua proses, adaptasi (adaptation) dan organisasi (organization) berperan dalam perubahan skema. Adaptasi (adaptation)melibatkan pengembangan skema melalui interaksi langsung dengan lingkungan. Adaptasi meliputi dua kegiatan yang saling melengkapi, asimilasi (assimilation) dan akomodasi (accommodation).
Selama asimilasi (assimilation), kita menggunakan skema kita saat menafsirkan dunia luar. Sebagai contoh, ketika Timmy menjatuhkan objek-objek, dia sedang mengasimilasi objek-objek tersebut pada “skema menjatuhkan” sensoris-motoriknya. Dalam akomodasi (accomodation), kita menciptakan skema baru atau menyesuaikan skema lama setelah mengetahui bahwa cara berpikir kita saat ini ternyata tidak sepenuhnya memahami lingkungan itu. Sebagai contoh, ketika Timmy menjatuhkan objek-objek dengan cara berbeda, dia memodifikasi skema menjatuhkan miliknya agar bisa memahami beragam sifat dari objek tersebut.
Menurut Piaget, keseimbangan antara asmilasi dan akomodasi sifatnya beragam sepanjang waktu. Bila anak-anak tidak banyak berubah, mereka lebih sering mengasimilasi ketimbang mengakomodasi. Piaget menyebut ini sebagaikeadaan ekuilibrium kognitif, menyiratkan adanya kondisi tetap dan nyaman. Akan tetapi, selama perubahan kognitif yang cepat, anak-anak berada dalam keadaan disekuilibrium, atau ketidaknyamanan kognitif.
Skema juga berubah selama organisasi (organization), sebuah proses yang terjadi secara internal, terpisah dari kontak langsung dengan lingkungan. Setelah anak-anak membentuk skema baru, mereka mengaturnya kembali, menghubungkannya dengan skema lain untuk menciptakan sebuah sitem kognitif yang saling berhubungan erat. Misalnya, Timmy pada akhirnya akan menghubungkan “jatuh” dengan melempar dan pemahamannya yang terus berkembang mengenai “dekat” dan “jauh”. Menurut Piaget, skema benar-benar mencapai ekuilibrium ketika menjadi bagian dari sebuah jaringan struktur luas yang bisa diterapkan bersama-sama pada dunia sekitar (Piaget, 1936/1952).
Senada dengan hal diatas, Menurut Piaget (Papalia, 2003: 243) perkembangan kognitif selama seluruh periode masa kanak-kanak terjadi melalui tiga prinsip yang saling terkait: organisasi, adaptasi dan ekuilibrasi.
a. Organisasi
Organisasi adalah kecenderungan untuk menciptakan struktur kognitif yang semakin kompleks; sistem pengetahuan atau cara berpikir yang menggabungkan gambar lebih banyak dan lebih akurat dari realitas. Struktur ini disebut skema yang pola perilaku yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan bertindak dalam situasi terorganisir. Sebagai anak-anak memperoleh informasi lebih lanjut, skema mereka menjadi lebih dan lebih kompleks. Bayi memiliki skema sederhana untuk mengisap tapi segera mengembangkan skema yang bervariasi untuk bagaimana mengisap payudara, botol, atau ibu jari.
b. Adaptasi
Adaptasi adalah istilah Piaget bagaimana anak menangani informasi baru yang tampaknya bertentangan dengan apa yang sudah diketahui anak. Adaptasi melibatkan dua proses yakni (1) asimilasi, mengambil informasi dan memasukkan ke dalam struktur kognitif ada dan (2) akomodasi, mengubah struktur kognitif seseorang untuk memasukkan pengetahuan baru.
c. Ekuilibrium
Ekuilibrium adalah usaha konstan untuk keseimbangan yang stabil atau keseimbangan yang menentukan pergeseran dari asimilasi dengan akomodasi. Ketika anak-anak tidak bisa menangani pengalaman baru dalam struktur yang ada, mereka mengatur pola mental yang baru yang mengintegrasikan pengalaman baru, sehingga memulihkan keseimbangan. Sebuah payudara atau botol-makan bayi yang mulai mengisap cangkir menunjukkan asimilasi-menggunakan skema tua untuk berurusan dengan objek atau situasi baru. Ketika bayi menemukan bahwa menghirup dari cangkir memerlukan hal yang berbeda lidah dan mulut gerakan dari yang digunakan untuk menghisap pada payudara atau botol, ia mengakomodasi dengan memodifikasi skema lama. Dia telah diadaptasi skema mengisap aslinya untuk menghadapi pengalaman baru: cangkir. Dengan demikian asimilasi dan bekerja sama untuk menghasilkan akomodasi keseimbangan dan pertumbuhan kognitif.
Menurut Santrock (2007: 243), dalam teori kognitif yang dikemukakan oleh Piaget menjelaskan tentang kisah terpadu yang menjelaskan bagaimana faktor biologis dan pengalaman membentuk perkembangan kognitif. Piaget berpikir sebagaimana tubuh fisik kita memiliki struktur yang memampukan kita beradaptasi dengan dunia, struktur-struktur mental kita juga membantu kita beradaptasi dengan dunia. Adaptasi meliputi penyesuaian terhadap tuntutan-tuntutan baru dari lingkungan. Piaget menekankan bahwa anak-anak secara aktif membangun dunia kognitif mereka sendiri. Informasi dari lingkungan tidak begitu saja dituangkan ke dalam pikiran-pikiran mereka. Ia menemukan bagaimana anak-anak, pada tahapan-tahapan yang berbeda dalam perkembangan mereka, memandang dunia ini dan bagaimana perubahan yang sistematis itu terjadi dalam pikiran mereka.
Menurut Piaget (Santrock, 2011: 24), “Children actively construct their understanding of the world and go through four stages of cognitive development. Hal ini menyatakan bahwa anak-anak secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat tahap perkembangan kognitif. Setiap tahapan memiliki keterkaitan dengan usia dan mengandung cara berfikir tertentu, cara yang berbeda, dalam memahami dunia. Untuk membuat dunia kita masuk akal, kita berusaha mengorganisasikan pengalaman-pengalaman kita. Dengan demikian, kognisi anak di sebuah tahap saling berbeda secara kualitatif.
Cara anak-anak berpikir dalam satu tahapan berbeda dengan cara mereka berpikir pada tahapan yang lain. Setiap tahapan Piaget berhubungan dengan usia anak yang bersangkutan dan terdiri atas cara-cara pemikiran yang unik.
Adapun penjelasan mengenai tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget menurut Santrock dalam bukunya sebagai berikut:
a. Tahap sensorimotor
Tahapan ini terjadi pada anak sejak lahir sampai usia 2 tahun, yang merupakan tahapan pertama dalam teori Piaget (Santrock, 2011: 41), “In this stage, infants construct an understanding of the world by coordinating their sensory experiences (such as seeing and hearing) with their motor action, hence the term sensorimotor”. Dalam tahap ini bayi membangun pemahaman mengenai dunianya dengan cara mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensoris (contohnya melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik dan motorik inilah asal istilah sensorimotor.
Pada awal tahapan ini, bayi yang baru lahir hanya memiliki pola perilaku refleks. Pada akhir tahapan sensorimotor, anak berusia 2 tahun mampu menghasilkan pola-pola sensorimotor yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol primitif.
Dalam tahapan ini, perubahan yang dialami oleh bayi terlihat dari bulan ke bulan secara spesifik. Hal tersebut seperti yang dituliskan Santrock dalam bukunya bahwa Piaget membagi tahap sensorimotor ke dalam enam subtahap sebagai berikut (Santrock, 2011: 149-150):
1) Refleks Sederhana
Berhubungan dengan satu bulan pertama sejak kelahiran. Dalam subtahap ini, koordinasi sensasi dan tindakan terutama berupa refleks, seperti mencari dan mengisap. Bayi tidak lama kemudian menampilkan perilaku yang menyerupai refleks tersebut tanpa adanya stimulus yang memicu refleks itu.
Sebagai contoh, seorang bayi yang baru lahir akan mengisap puting atau botol susu yang diletakkan dimulutnya atau disentuhkan ke bibirnya. Namun, tidak lama kemudian bayi akan mengisap-isap meskipun botol susu dan puting ibu tidak berada didekatnya. Bahkan pada bulan pertama kehidupannya, bayi akan memulai tindakan mandiri dengan aktif menstrukturisasi pengalaman-pengalamannya.
2) Kebiasaan awal dan reaksi sirkuler primer
Tahapan ini berkembang diantara usia 1 higga 4 bulan. Dalam sub tahap ini bayi mencoba mengkoordinasikan sensasi dan dua tipe skema yaitu kebiasaan dan reaksi sirkuler primer. Adapun tentang kebiasaan dan reaksi sirkuler primer akan dijelaskan di bawah ini:
a) Kebiasaan
Kebiasaan adalah skema yang didasarkan pada refleks dan pada akhirnya akan menjadi reaksi yang sepenuhnya terpisah dari rangsangan asli yang membangkitkan refleks itu. Sebagai contoh bayi dalam subtahap 1 akan mengisap hanya apabila terdapat botol susu yang diletakkan ke bibirnya atau ketika bayi itu melihat botol susu itu. Bayi pada sub tahap kedua mungkin akan mengisap-isap meskipun tidak ada botol di dekatnya.
b) Reaksi Sirkuler Primer
Reaksi sirkuler adalah tindakan yang diulang-ulang (repetitif). Reaksi sirkuler primer merupakan skema yang didasarkan pada upaya untuk mereproduksi suatu peristiwa yang mulanya terjadi secara kebetulan. Sebagai contoh, seorang bayi secara kebetulan akan mengisap jari-jarinya apabila sengaja diletakkan di dekat mulutnya. Selanjutnya, ia mencari jari-jarinya untuk diisap lagi, namun jari-jarinya belum dapat dikoordinasikan sesuai keinginan karena ia belum dapat mengkoordinasikan aksi visual dan manual. Kebiasaan dan reaksi-reaksi sirkuler bersifat stereotip artinya bayi akan mengulang-ulang dengan cara yang sama setiap kalinya. Selama sub tahap ini, tubuh bayi akan terus menjadi pusat perhatian bayi.
3) Reaksi sirkuler sekunder
Reaksi sirkuler sekunder erkembang antara usia 4 sampai 8 bulan. Pada sub tahap ini bayi lebih berorientasi pada objek, melampaui preokupasi diri. Skema bayi belum bersifat sengaja atau terarah pada saran, namun diulang-ulang karena perasaan takjub.
Contohnya secara kebetulan, seorang bayi mungkin mengguncang-guncang mainan yang bergemerincing. Bayi mengulang-ulang tindakan ini karena perasaan takjub. Ini adalah suatu reaksi sirkuler sekunder yaitu tindakan yang diulang-ulang karena konsekuensi dari tindakan tersebut. Bayi juga melakukan peniruan terhadap sejumlah tindakan sederhana, seperti berceloteh dan sejumlah bahasa tubuh sederhana. Meskipun demikian, bayi hanya melakukan peniruan terhadap tindakan-tindakan yang memang telah mampu dihasilkannya sendiri.
4) Koordinasi terhadap reaksi sirkuler sekunder
Tahap ini berkembang diantara usia 8 hingga 12 bulan. Ketika memasuki sub tahap ini, bayi mampu mengkoordinasikan penglihatan dan sentuhan , yaitu tangan dan mata. Tindakan-tindakan menjadi lebih diarahkan keluar. Dalam sub tahap ini terjadi perubahan besar yang melibatkan koordinasi skema-skema dan kesengajaan. Bayi siap mengombinasikan dan mengombinasi ulang secara koordinasi skema-skema yang sebelumnya pernah dipelajari. Mereka dapat mengamati sebuah objek dan langsung menggenggamnya, atau mereka juga dapat menyelidiki sebuah mainan yang bergemerincing dengan segera menyentuhnya dan mengeksplorasinya dengan menggunakan jari-jarinya. Tindakan-tindakan bayi bahkan lebih terarah keluar dibandingkan sebelumnya. Kemampuan koordinasi ini merupakan prestasi kedua munculnya kesengajaan.
Sebagai contoh, bayi dapat menggunakan sebuah tongkat untuk mengambil mainan yang diinginkan atau mereka juga dapat menabrakkan sebuah balok agar dapat meraih dan bermain dengan balok lain.
5) Reaksi sirkuler tersier, kesenangan terhadap hal baru, dan keingintahuan
Berkembang diantara usia 12 hingga 18 bulan. Dalam sub tahap ini, minat bayi semakin tergugah terhadap berbagai karakteristik objek ataupun segala tindakan yang dapat mereka lakukan terhadap objek itu. Sebuah kotak dapat dijatuhkan, diputarkan, ditabrakkan ke objek lain, dan digelindingkan. Reaksi sirkuler tersier adalah skema dari eksplorasi kesengajaan oleh bayi terhadap kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat dilakukan pada objek tertentu dan mengamati hasilnya. Menurut Piaget, tahap ini menandai titik awal perkembangan keingintahuan dan minat terhadap hal baru.
6) Internalisasi skema
Tahapan ini merupakan subtahap sensorimotor yang terakhir dan berlangsung di antara usia 18 hingga 24 bulan. Dalam sub tahap ini, bayi mengembangkan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol primitif. Menurut Piaget simbol adalah gambaran sensoris atau kata yang diinternalisasi memoresentasikan sebuah peristiwa. Simbol-simbol primitive memungkinkan bayi untuk memikirkan peristiwa-peristiwa konkret tanpa harus secara langsung melakukan atau melihantnya. Selain itu, simbol-simbol juga memungkinkan bayi untuk memanipulasi dan mentransformasi peristiwa-peristiwa dengan cara sederhana.
Dalam masing-masing subtahap pada tahapan sensorimotor terdapat kekhususan yang harus diperhatikan agar orang tua mampu memberikan stimulasi lingkungan yang tepat pada anak. Hal itu dilakukan agar anak benar-benar dapat melalui masing-masing sub tahapan dengan baik.
Adapun secara lebih ringkas, sub tahap dalam tahan sensorimotor dirangkum dalam tabel di bawah ini (Santrock, 2011: 149):
Tabel 2.2. Subtahap dalam Tahapan Sensorimotor
Sub Tahap | Usia | Deskripsi | Contoh |
Refleks Sederhana | Lahir hingga 1 bulan | Koordinasi sensasi dan tindakan melalui perilaku refleks. | Refleks mencari, mengisap, dan menggenggam secara refleksif, bayi yang baru lahir akan mengisap ketika bibirnya disentuh. |
Kebiasaan awal dan reaksi sirkuler | 1 hingga 4 bulan | Koordinasi sensasi dan dua jenis skema: kebiasaan (refleks) dan reaksi sirkuler primer (usaha memproduksi suatu peristiwa yang mulanya terjadi secara kebetulan). Fokus utamanya masih di sekitar tubuh bayi. | Mengulang sensasi tubuh yang awalnya dialami secara kebetulan (contohnya mengisap jempol), kemudian bayi mungkin melakukan akomodasi tindakannya dengan mengisap jempol mereka dengan cara yang berbeda dari mengisap putting. |
Reaksi sirkuler sekunder | 4 hingga 8 bulan | Bayi lebih berorientasi pada objek, melampaui preokupasi terhadap diri sendiri; tindakan diulang-ulang karena takjub atau menyenangkan. | Bayi mendekut agar orang tetap berada di dekatnya; ketika orang itu menjauh; bayi mendekut lagi. |
Koordinasi reaksi sirkuler sekunder | 8 hingga 12 bulan | Koordinasikan penglihatan dan sentuhan tangan dan mata; koordinasi skema dan kesengajaan. | Bayi memanipulasi sebuah tongkat untuk mengambil mainan yang menarik. |
Reaksi sirkuler tersier, kesenangan terhadap hal baru, dan keingintahuan | 12 hingga 18 bulan | Minat bayi semakin tergugah terhadap berbagai karakteristik objek ataupun segala yang dapat mereka lakukan terhadap objek itu; mereka bereksperimen dengan perilaku baru. | Sebuah kotak mungkin dijatuhkan, diputar, ditabrakkan ke benda lain, dan digelindingkan. |
Internalisasi skema | 18 hingga 24 bulan | Bayi mengembangkan kemampuan menggunakan simbol-simbol primitif dan membentuk representasi mental yang menetap. | Bayi yang belum pernah menunjukkan tempertantrum sebelum melihat kawannya menunjukkan perilaku ini; bayi menyimpan memori mengenai suatu peristiwa, kemudian menampilkan perilaku itu di hari berikutnya. |
b. Tahap praoperasional
Tahapan praoperasional ini merupakan tahapan kedua dan terjadi pada anak pada usia 2 – 7 tahun. Santrock (2011:41) mendefinisikan bahwa, “the child begins to represent the world with words and images. These words and images reflect increase symbolic thinking and go beyond the connection of sensory information and physical action.
Dalam tahap ini anak-anak mulai mempresentasikan dunia dengan kata-kata, bayangan, dan gambar-gambar. Pemikiran-pemikiran simbolik berjalan melampaui koneksi-koneksi sederhana dari informasi sensorik dan tindakan fisik. Konsep stabil mulai terbentuk, pemikiran-pemikiran mental muncul, egosentrisme tumbuh, dan keyakinan-keyakinan magis mulai terkonstruksi.
Karena oleh Piaget tahap ini disebut “praoperasional”, maka seolah-olah periode ini merupakan periode menunggu yang tidak penting. Hal ini tidak benar. Meskipun demikian, label praoperasional memberi penekanan bahwa anak belum melakukan operasi, yaitu aktivitas mental yang dibalik yang memungkinkan anak-anak untuk membayangkan hal-hal yang dulunya hanya dapat dilakukan secara fisik. Membayangkan operasi penambahan dan pengurangan merupakan contoh-contoh operasi. Pemikiran praoperasional adalah awal dari kemampuan melakukan rekonstruksi dalam pikiran terhadap hal-hal yang telah dicapai dalam bentuk perilaku.
Tahap ini dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan yaitu sutahap fungsi simbolik dan subtahap pemikiran intuitif. Adapun sub tahapan akan dijelaskan di bawah ini:
1) Subtahap fungsi simbolik
Tahapan ini terjadi antara usia 2 hingga 4 tahun. Anak kecil memperoleh kemampuan untuk membayangkan penampilan objek yang tidak hadir secara fisik. Kemampuan ini secara cepat dapat memperluas dunia mental anak. Anak-anak kecil menggunakan coretan-coretan untuk mempresentasikan manusia, rumah, mobil, awan, dan sebagainya. Mereka mulai menggunakan bahasa dan terlibat dalam permainan pura-pura. Meskipun di dalam sub tahap ini anak-anak kecil sudah membuat kemajuan yang berarti, pemikiran mereka masih terbatas; dua bentuk keterbatasan ini adalah egosentrisme dan animisme.
a) Egosentrisme
Egosentrisme adalah ketidakmampuan membedakan antara perspektifnya sendiri dan perspektif orang lain. Piaget dan Barbel Inhelder awalnya mempelajari egosentrisme anak-anak kecil dengan membagi tugas mengenai tiga gunung. Sang anak berjalan di sekitar model gunung dan menjadi terbiasa dengan penampang gunung itu dari berbagai perspektif yang berbeda, dan ia dapat melihat ada objek-objek yang berbeda di pegunungan itu. Kemudian anak didudukkan di salah satu sisi meja yang di atasnya diletakkan pegunungan itu.
Gambar 2.1. Piaget’s Three-Mountain Task 1 |
Secara lebih jelas, egosentrisme pandangan anak akan gunung tersebut tampak seperti gambar di bawah ini
Gambar 2.2. The Three Mountains Task 1 |
Gambar 2.2 The Three Mountains Task
Contoh lain yang terlihat egosentris terlihat pada percakapan telepon antara seorang ayah dengan anaknya, Mary (yang berusia 4 tahun) menunjukkan pemikiran Mary yang egosentris. Mary berada di rumah dan ayahnya berada di kantor.
Ayah: Mary, apa ibu ada di rumah?
Mary: (Mengangguk)
Ayah: Mary, halo. Ibu ada? Ayah boleh berbicara dengan ibu?
Mary: (Kembali menganggukkan kepalanya)
Respon Mary bersifat egosentris, artinya ia gagal mempertimbangkan perspektif ayahnya sebelum menjawab. Seorang yang tidak berpikir egosentris akan merespons secara verbal.
b) Animisme
Animisme merupakan keterbatasan lain dari pemikiran praoperasional. Animisme adalah keyakinan bahwa benda-benda mati memiliki kualitas yang seolah-seolah hidup dan mampu beraksi. Seorang anak kecil mungkin memperlihatkan animisme ketika mengatakan “pohon itu mendorong dau, sehingga daunnya jatuh, “ atau “ trotoar itu mmebuat saya marah; trotoar itu menyebabkan saya terjatuh.”
Seorang anak kecil yang menggunakan animisme sulit membedakan antara peristiwa-peristiwa yang tepat bagi penggunaan perspektif manusia dan bukan manusia. Hal itu disebabkan anak-anak kecil tidak terlalu menaruh perhatian pada realitas; hasil gambar mereka bersifat khayalan dan berdaya cipta. Matahari yang berwarna biru, langit yang berwarna kuning, dan mobil yang melayang di awan semuanya adalah dunia simbolis dan imajinatifnya.
Selain itu, seorang anak berusia 3,5 tahun memperhatikan gambar acak-acakan yang ia buat dan mendeskripsikannya sebagai “burung pelikan sedang mencium anjing laut”. Simbolismenya sederhana tapi kuat, seperti gambar abstrak yang ditemukan dalam beberapa seni lukis modern berikut ini:
Gambar 2.3. A 3½ Year Old’s Symbolic Drawing. Halfway Nto This Drawing, The 3½ Year Old Said It Was “A Pelican Kissing A Seal”
Pelukis abad ke 20, Pablo Picasso pernah berkomentar “saya bisa melukis sebagus Raphael, tapi seumur hidup untuk mampu menggambar seperti seorang anak.”
Dalam tahun-tahun di sekolah dasar, gambar-gambar seorang anak menjadi lebih realistis, rapi dan tepat. Matahari berwarna kuning, langit berwarna biru, daun berwarna hijau dan mobil berjalan di jalan raya. Seperti gambar pohon yang tampak di bawah ini:
Gambar 2.4. This 11 Years Old’s Drawing Is Neater And More Realistic But Also Less Inventive
2) Subtahap berpikir intuitif
Tahap ini terjadi di usia 4 hingga 7 tahun. Pada subtahap ini, anak-anak mulai menggunakan penalaran primitive dan ingin mengetahui jawaban terhadap segala jenis pertanyaan. Anak-anak pada tahapan ini mulai mengembangkan idenya sendiri mengenai dimana ia tinggal, idenya masih sederhana, dan ia belum terlalu baik dalam menyelesaikan masalah. Ia memiliki kesulitan dalam memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi namun tidak dapat dilihatnya. Fantasinya kurang memiliki kaitan dengan realitas. Ia belum mampu menjawab pertanyaan “ Bagaimana seandainya?” sebagai contoh, ia hanya memiliki gagasan yang samar mengenai apa yang akan terjadi seandainya sebuah mobil menabraknya.
Pada usia 5 tahun, anak-anak akan mebuat orang dewasa kelelahan karena banyak mengajukan pertanyaan “ mengapa”. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini mengindikasikan munculnya minat terhadap penalaran dan berusaha memahami mengapa berbagai hal berlangsung seperti adanya. Beberapa contoh pertanyan yang diajukan anak-anak ketika berusia 4 hingga 6 tahun antara lain:
“ apa yang membuat kamu bertumbuh besar?”
“ siapa yang menjadi ibu jika semua orang adalah bayi?”
“ mengapa daun jatuh?”
“mengapa matahari bersinar?”
Tahapan ini disebut tahapan intuitif karena anak-anak kecil tampaknya demikian yakin terhadap pengetahuannya dan pemahamannya meskipun mereka belum menyadari bagaimana mereka mengetahui ha-hal yang mereka ketahui itu. Kesimpulannya, anak-anak mengetahui sesuatu namun mengetahuinya tanpa pemikiran rasional.
Salah satu keterbatasan pemikiran praoperasioanl adalah pemusatan, yakni memusatkan atensi pada sebuah karakteristik sehingga mengesampingkan karakteristik lainnya. Pemusatan adalah gejala yang paling jelas muncul pada anak-anak kecil yang belum memiliki konservasi, yakni kesadaran bahwa mengubah suatu objek atau suatu substansi tidak mengubah properti dasarnya. Sebagai contoh, orang dewasa pasti memahami betul bahwa jumlah cairan akan tetap sama meskipun bentuk wadahnya berbeda. Hal ini tidak jelas bagi anak–anak kecil. Mereka justru terpaku pada ketinggian cairan yang berada di dalam wadah; mereka memfokuskan karakteristik wadah sehingga mengesampingkan karakteristik lainnya. Hal tersebut tampak seperti gambar di bawah ini
Gambar 2.5. Piaget’s Conservation Task
c. Tahap operasional konkret (7 – 11 tahun)
Tahapan ketiga ini berlangsung pada saat anak berusia sekitar 7 – 11 tahun. Santrock (2011: 44), menyatakan:
Concrete operational thought involves using operations. Logical reasoning replace intuitive reasoning, but only in concrete situations. Classification skills are present, but abstract problems go unsolved.
Pada tahapan ini, pemikiran logis menggantikan pemikiran intuitif asalkan pemikiran tersebut dapat diaplikasikan menjadi contoh-contoh yang konkret atau spesifik. Dalam tahapan ini, anak-anak dapat melakukan operasi yang melibatkan objek-objek dan juga dapat bernalar secara logis, sejauh hal itu diterapkan dengan contoh-contoh yang spesifik atau konkret. Pemikir operasi konkret tidak dapat membayangkan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu persamaan aljabar, karena terlalu abstrak untuk dipikirkan pada tahap perkembangan ini.
Perlu diingat bahwa operasi adalah kegiatan mental dua arah dan operasi-operasi konkret adalah operasi yang diaplikasikan pada objek-objek yang riil dan konkret. Operasi-operasi konkret memungkinkan anak memikirkan beberapa karakteristik dan bukan berfokus pada suatu property tunggal suatu obyek. Salah satu karakteristik lain dari anak yang telah mencapai tahap ini adalah kemampuan mengklasifikasikan atau membagi benda-benda ke dalam perangkat-perangkata atau subperangkat yang berbeda dan memperhitungkan keterkaitannya. Beberapa hal penting dalam tahapan ini adalah konservasi, klasifikasi, seriatiom, Transitivity:
1) Konservasi
Tugas konservasi mendemosntrasikan kemampuan anak dalam melakukan operasi-operasi konkret. Dalam tes kemampuan pembalikan berpikir yang melibatkan konservasi materi (bahan). Seorang anak dihadapkan pada dua buah gumpalan tanah liat. Pembuat eksperimen mengubah bentuk gumpalan tanah liat yang satu menjadi bentuk yang panjang dan ramping, sementara yang lain tetap seperti bentuk semula.
Gambar 2.6. Beberapa Dimensi Dari Konservasi : Jumlah, Bahan Dan Panjang
2) Klasifikasi
Banyak operasi-operasi konkret yang diidentifikasikan Piaget melibatkan cara anak berpikir tentang karakteristik objek. Satu keahlian khusus yang mencirikan operasional konkret anak adalah kemampuan untuk mengklasifikasikan benda dan memahami relasi antar benda tersebut. Kemampuan operasional konkret anak untuk membagi benda menjadi kumpulan dan sub kumpulan dann memahami relasinya diilustrasikan oleh pohon keluarga empat generasi.
Gambar 2.7. Classification
Pohon keluarga di atas menggambarkan kakek (A) memiliki tiga orang anak (B, C, D), tiap orang anak memiliki dua orang anak (E sampai J), dan salah satu dari anak-anak tersebut (J) punya tiga orang anak (K, L, dan M). Seorang anak dengan operasional konkret dapat memahami bahwa J, pada saat bersamaan dapat menjadi ayah, saudara, dan cucu. Seorang anak yang memahami system klasifikasi ini dapat bergerak dalam system tersebut secara vertical, horizontal, atau diagonal.
3) Seriation
Seriation adalah tindakan mengurutkan stimuli diantara dimensi kuantitatif (seperti panjang). Untuk melihat apakah anak mampu melakukan seriation, seorang guru dapat meletakkan delapan tongkat dengan panjang yang berbeda, secara acak di atas meja. Kemudian guru meminta anak mengurutkan tongkat tersebut berdasarkan panjangnya. Pemikir operasional konkret secara serempak memahami bahwa tiap tongkat harus lebih panjang dari yang lain dan meletakkan tongkat yang lebih panjang di awal diikuti yang lebih pendek, dan seterusnya.
4) Transivity
Transivity ialah kemampuan memikirkan relasi gabungan secara logis. Jika ada relasi antara objek pertama dan kedua, dan ada relasi antara objek kedua dan ketiga, maka ada relasi antara objek pertama dan ketiga. Contohnya ada tiga buah tongkat (A, B, dan C) dengan panjang berbeda. A adalah tongkat terpanjang, B lebih pendek dari A namun lebih panjang dari C. Apakah A lebih panjang dari C? Dalam teori Piaget, pemikir operasional konkret akan menjawab ya; sedangkan pemikir praoperasional akan menjawab tidak.
d. Tahap operasi formal
Tahap ini merupakan tahapan keempat yang berlangsung pada saat anak berusia 11 sampai dewasa.
At this stage individuals move beyond reasoning only about concrete experiences and think in more abstract, idealistic, and logical ways.
Dalam tahap ini individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih abstrak, remaja mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang ideal. Mereka dapat berpikir mengenai konsep orang tua yang ideal dan membandingkan orang tua mereka dengan standar ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan di masa depan dan kagum dengan hal-hal yang dapat mereka lakukan. Dalam aspek memecahkan masalah, mereka dapat bekerja secara lebih sistematis dengan mengembangkan hipotesis mengenai mengapa sesuatu terjadi seperti itu kemudian menguji hipotesis tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan, para pemikir formal ini akan lebih sistematis dan menggunakan pemikiran logis.
Kualitas abstraksi pemikiran pada tingkat operasional formal terlihat jelas dalam kemampuan remaja menyelesaikan masalah verbal. Pemikir operasional konkret perlu melihat elemen-elemen konkret A, B, dan C agar mampu membuat kesimpulan logis bahwa jika A=B dan B=C maka A= C. Pemikir operasional formal mampu menyelesaikan persoalan ini melalui presentasi verbal.
Indikasi kualitas abstrak yang lain pada pemikiran remaja adalah meningkatnya tendensi memikirkan dirinya sendiri. Seorang remaja berkomentar. ‘aku suka berpikir tentang mengapa aku memikirkan tentang apa yang sedang aku pikirkan.’ Jika hal ini terdengar abstrak, memang demikian ini menunjukkan peningkatan fokus remaja pada pikiran beserta aspek-aspek abstraknya.
Ketika remaja mulai berpikir lebih abstrak dan idealis, mereka juga belajar berpikir lebih logis. Anak-anak sering memecahkan masalah dalam pola trial and error. Remaja mulai berpikir seperti seorang ahli, merancang perencanaan-perencanaan untuk menyelesaikan masalah dan secara sistematis menguji solusi-solusi tersebut. Mereka menggunakan pemikiran hipotesis-induktif, yakni mengembangkan hipotesa-hipotesa terbaik, dan secara sistematis menyimpulkan langkah-langkah terbaik guna pemecahan masalah.
Serta uraian tahapan perkembangan kognitif menurut Piaget yang dijelaskan oleh Bukatko & Daehler dalam tabel berikut :
Tabel 2.3. Piaget’s Stage of Cognitive Development
Stage | Emerging Cognitive Structure (Schemes) | Typical Achievements and Behaviors |
Sensorimotor (Birth until 1,5 – 2 years | Sensory and motor actions, initially reflexes, quickly differentiate by means of accomodation and coordinate to form adaptive ways of acting on the environment | Infants suck, grasp, look, reach and so forth, responses that become organized into complex activities such as hand-eye coordination, knowledge of space and objects, and eventually rudimentary symbols deigned to solve problems and understand the physical world |
Preoperational (1.5 – 7 years) | Symbols stand for or represent object and events, but communication and thought remain relatively inflexible | Children begin to acquire language and mental representation, but thought remains unidimensional and oriented around the self |
Concrete operational (7-11 years) | Cognitive operations permit logical reasoning about concrete objects, events and relationship | Children are no longer fooled by appeareance, and they can reason more systematically with respect to classes, number, and other characteristic of their physical and social world |
Formal Operational (11 years and above) | Operations can be performed on operation. Thought becomes abstract, and all possible outcomes can be considered | Adoslence and adults are able to reason about hyphotetical outcomes. Abstracts issues (e.g religion, morality, alternative lifestyles) are systematically evaluated. |
Dalam Bukatko & Daehler, dijelaskan pula teori serta tema perkembangan Piaget. Ada beberapa poin penting yang diuraikan di dalamnya, diantaranya :
a. Sifat Dasar/Pengasuhan
Piaget menuliskan bahwa sejumlah faktor dasar secara biologis memberikan kontribusi pada perkembagan kognitif. Diantara nya adalah kedewasaan/kematangan, tahapan yang membuka program genetik dalam perkembangan anak. Faktor lainnya adalah kecenderungan lain yang melekat pada anak untuk bertindak, secara fisik maupun mental, di dalam lingkungannya. Namun, dalam perkembangan Piaget sangat jelas merupakan produk dari interaksi faktor-faktor ini dengan pengalaman yang diperoleh anak
b. Pengaruh sosial budaya
Bagi Piaget, anak berkembang dengan cara yang sama di semua bagian dunia karena anak-anak memiliki unsur biologis yang sama dan fisik serta sosial dunia samayang perlu diadaptasi oleh manusia. Kesempatan budaya atau pendidikan, bagaimanapun juga, bisa mempengaruhi kecepatan dan keunggulan tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak.
c. Keberlanjutan/ketidakberlanjutan
Meskipun pengenalan terus berubah, teori Piaget fokus pada cara skema menjalani re-organisasi dan merubah pola khusus dalam perkembangan. Dalam tulisan dan percakapan terakhirnya, Piaget mulai menerapkan pentingnya tahapan (Piaget, 1971;Vuyk, 1981). Dia percaya bahwa penekanan yang lebih di dalam tahapan ini memberikan perhatian dengan menjelaskan periode stabilitas atau keseimbangan intelektual ketika, pada kenyatannya, kesadaran selalu mengalami perkembangan. Perkembangan kognitif, sama seperti spiral yang selalu berubah secara konstan, meskipun kadang-kadang pada waktu yang cepat daripada waktu yang lain (Beillin, 1989)
d. Perbedaan individu
Piaget tidak terlalu fokus pada perbedaan individu dalam perkembangan anak. Tujuan dia adalah untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip yang diterapkan pada aspek perkembangan kognitif anak dan aspek lainnya
e. Interaksi diantara domain
Teori Piaget telah memberi implikasi pada berbagai domain perkembangan. Contohnya, ide nya mengenai perkembangan kognitif yang telah digunakan untuk menjelaskan perubahan dalam komunikasi, pemikiran moral, dan aspek sosial tentag bagaimana anak memahami pemikiran, perhatian, perasaan, dan pandangan lainnya. Namun, Piaget telah memberikan kritiknya dengan memberikan perhatian tentang bagaimana domain sosial dan emosional mempengaruhi perkembangan kognitif.
2. Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky
Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak secara aktif menyusun pengetahuan mereka. Meskipun demikian, Vygotsky memberi fokus lebih besar terhadap pentingnya interaksi sosial dan budaya terhadap perkembangan kognitif. Santrock (2011: 26), “Vygotsky’s theory is a sociocultural cognitive theory that emphasizes how culture and social interaction guide cognitive development”. Teori Vygotsky adalah teori kognisi sosiobudaya yang berfokus pada bagaimana budaya dan interaksi sosial mengarahkan perkembangan kognitif.
Vygotsky melukiskan perkembangan anak sebagai aspek yang tidak terpisahkan dari aktivitas sosial dan budaya. Ia berpendapat bahwa perkembangan memori, atensi, dan penalaran mencakup kegiatan belajar untuk menggunakan temuan-temuan dari masyarakat, seperti bahasa, system matematika, dan strategi memori. Dengan demikian dalam suatu budaya anak-anak dapat belajar berhitung dengan bantuan komputer, di budaya lainnya mereka dapat belajar berhitung dengan menggunakan manik-manik. Menurut Vygotsky (Santrock, 2011: 26), “Children’s social interaction with more-skilled adults and peers is indispensable to their conitive development”. Hal ini diketahui bahwa interaksi anak-anak dengan orang dewasa yang lebih terampil dan kawan-kawan sebaya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kognitif mereka. Melalui interaksi ini, mereka belajar menggunakan perangkat yang dapat membantu mereka untuk beradaptasi dan berhasil di dalam budayanya.
Sejalan dengan pendapat di atas Berk (2009: 236) juga mengungkapkan bahwa teori sosiokultural Vygotsky cenderung menekankan bahwa anak-anak hidup dalam konteks sosial dan budaya yang relatif kaya dan dapat mempengaruhi dunia kognitif anak. Aktivitas mental anak berasal dari interaksi sosial anak baik dengan masyarakat sekitar atau pun orang dewasa lainnya.
Vygotsky memberikan pandangan berbeda dengan Piaget terutama pandangannya tentang pentingnya faktor sosial dalam perkembangan anak. Vygotsky memandang pentingnya bahasa dan orang lain dalam dunia anak-anak. Meskipun Vygotsky dikenal sebagai tokoh yang memfokuskan kepada perkembangan sosial yang disebut sebagai sosiokultural, dia tidak mengabaikan individu atau perkembangan kognitif individu. Hal itu didukung oleh pendapat Berk (2006: 273) yang menyatakan “In Vygotsky’s sociocultural theory, language development broadens preschoolers’ participation in dialogues with more knowledgeable individuals, who encourage them to master culturally important tasks. These social experiences transform basic mental capacities intoo uniquely human, higher cognitive processes”.
Perkembangan bahasa pertama anak tahun kedua di dalam hidupnya dipercaya sebagai pendorong terjadinya pergeseran dalam perkembangan kognitifnya. Bahasa memberi anak sebuah alat baru sehingga memberi kesempatan baru kepada anak untuk melakukan berbagai hal, untuk menata informasi dengan menggunakan simbol-simbol.
Anak-anak sering terlihat berbicara sendiri dan mengatur dirinya sendiri ketika ia berbuat sesuatu atau bermain. Ini disebut sebagai private speech. Ketika anak menjadi semakin besar, bicaranya semakin lirih, dan mulai membedakan mana kegiatan bicara yang ditujukan ke orang lain dan mana yang ke dirinya sendiri.
Dengan pertolongan orang dewasa, anak dapat melakukan dan memahami lebih banyak hal dibandingkan dengan jika anak hanya belajar sendiri. Konsep inilah yang disebut Vygotsky sebagai Zone of Proximal Development (ZPD). Menurut Vygotsky, pertama-tama anak melakukan segala sesuatu dalam konteks sosial dengan orang lain dan bahasa membantu proses ini dalam banyak hal. Lambat laun, anak semakin menjauhkan diri dari ketergantungannya kepada orang dewasa dan menuju kemandirian bertindak dan berpikir.
a. Zona Perkembangan Proksimal (Zone Proximal Development/ ZPD)
Karya Vygotsky didasarkan pada dua gagasan utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya berdasar konteks historis dan budaya yang dialami anak-anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem tanda yang ada bersama masing-masing orang ketika mereka bertumbuh, yaitu simbol-simbol yang diciptakan budaya untuk membantu rang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah. Berbeda dengan Piaget, Vygotsky berpendapat bahwa pembelajaran mendahului perkembangan. Baginya, pembelajaran diperoleh melalui pengajaran dan informasi dari orang lain, sehingga mampu berpikir dan memcahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Kemampuan ini disebut pengaturan diri (self-regulation).
Vygotsky (2007:264) berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep yang lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan sesorang yang dianggap lebih ahli dalam hal tertentu. Selain itu anak-anak menyerap percakapan orang lain dan kemudian mengunakan percakapan itu untuk membantu diri sendiri memecahkan masalah, mekanisme inilah yang disebut dengan percakapan pribadi (private speech). Pembicaraan anak-anak pada diri sendiri yang menuntun pemikiran dan tindakan mereka, dan kemudian berlangsung tanpa suara (percakapan batin). Konsep Vygotsky(Slavin, 2011: 59) didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan ditentukan oleh apa yang dapat dilakukan seorang anak secara mandiri dan oleh apa yang dapat dilakukan anak itu ketika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten (Karpov & Haywood, 1998; Roth & Lee, 2007; Vygotsky, 1978). Keyakinan Vygotsky mengenai pentingnya pengaruh-pengaruh sosial khususnya intruksi dalam perkembangan kognitif anak-anak tercermin di dalam konsepnya yaitu zona perkembangan proksimal. Santrock (2011: 50) menyatakan, “Zone of Proximal Development (ZPD) is Vygotsky’s term for the range of tasks that are to difficult for the child to master alone but that can be learned with guidance and assistance of adults or more-skilled children”. Zona Perkembangan Proksimal (Zone Proximal Development/ ZPD) adalah istilah Vygotsky untuk rentang tugas-tugas yang terlalu sulit bagi anak untuk dikuasai sendiri namun dapat dipelajari melalui bimbingan dan bantuan dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. Jadi, batas bawah dari ZPD adalah level keterampilan yang mampu diraih anak dengan bekerja sendiri. Sementara batas atas dari ZPD adalah level dari tanggung jawab tambahan yang dapat diterima anak dengan dibantu oleh instruktur yang mampu. ZPD menangkap keterampilan kognitif anak yang berada di dalam proses pematangan dan dapat dicapai hanya melalui bantuan dari orang yang lebih terampil.
Menurut teori Vygotsky, Zona perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak. Pada satu sisi, Piaget menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri. Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan.
Oleh karena itu, Vigostsky mengajukan teori yang dikenal dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD) yang merupakan dimensi sosio-kultural yang penting sebagai dimensi psikologis. ZPD adalah jarak antara tingkat perkembangan actualdengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan yang dimaksud terdiri atas empat tahap.
Pertama, more dependence to others stage, yakni tahapan di mana kinerja anak mendapat banyak bantuan dari pihak lain seperti teman-teman sebayanya, orang tua, guru, masyarakat, ahli, dan lain-lain. Dari sinilah muncul model pembelajaran kooperatif atau kolaboratif dalam mengembangkan kognisi anak secara konstruktif.
Kedua, less dependence external assistence stage, di mana kinerja anak tidak lagi terlalu banyak mengharapkan bantuan dari pihak lain, tetapi lebih kepada self assistance, lebih banyak anak membantu dirinya sendiri.
Ketiga, Internalization and automatization stage, di mana kinerja anak sudah lebih terinternalisasi secara otomatis. Kasadaran akan pentingnya pengembangan diri dapat muncul dengan sendirinya tanpa paksaan dan arahan yang lebih besar dari pihak lain. Walaupun demikian, anak pada tahap ini belum mencapai kematangan yang sesungguhnya dan masih mencari identitas diri dalam upaya mencapai kapasitas diri yang matang.
Keempat, De-automatization stage, di mana kinerjan anak mampu mengeluarkan perasaan dari kalbu, jiwa, dan emosinya yang dilakukan secara berulang-ulang, bolak-balik, recursion. Pada tahap ini, keluarlah apa yang disebut dengan de automatisation sebagai puncak dari kinerja sesungguhnya. Untuk mendeskripsikan bagaimana anak berkembang dari tahap kapasitasnya mulai berfungsi hingga masa perkembangan lanjutan, dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar 2.8. Tahapan Perkembangan
Berikut ini terdapat sebuah contoh yang menunjukkan Zona Perkembangan Proksimal (Santrock, 2007:264):
Seorang anak berusia 5 tahun mendorong kereta belanja melalui area rumah pra sekolahnya. Gurunya memperhatikan anak itu meletakkan buah di keranjang kecil dan bahan-bahan makanan lain di bagian yang lebih besar dari keretanya. Guru itu memperhatikan anak tersebut memisahkan benda-benda sejak beberapa minggu sebelumnya dan ia berpikir anak tersebut mungkin mampu mengklasifikasikan dua kategori pada saat yang bersamaan, dengan bantuannya. Ia berjalan menuju meja kasir dan berpura-pura menjadi kasir, lalu ia berkata. “ kita harus hati-hati memisahkan bahan-bahan makananmu ke dalam tas. Kita gunakan satu tas untuk barang-barang yang dimasukkan ke dalam kulkas dan tas lain untuk barang-barang yang masuk dalam almari. Mereka bersama-sama memikirkan ‘sistem satu tas’ untuk tiap-tiap barang: makanan-makanan dalam dos yang harus disimpan di kulkas, sayuran dan buah-buahan yang masuk ke kulkas, makanan-makanan dalam dos yang harus disimpan dalam almari.
Pada contoh di atas kemampuan anak membuat klasifikasi masih kasar pada buah dan non buah. Dengan bantuan guru, anak tersebut dapat menerapkan pola klasifikasi yang lebih tinggi.
b. Scaffolding
Konsep yang berkaitan erat dengan gagasan mengenai ZPD adalah konsep mengenai scaffolding. Scaffolding merupakan istilah terkait kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak. Hal tersebut terjadi ketika orang yang terampil atau orang dewasa mengarahkan anak, maka anak akan melibatkan diri dalam interaksi dan mengambil strategi mental hingga kelamaan kompetensi anak akan semakin meningkat. Sementara itu orang dewasa kemudian menarik diri dan membiasakan anak mengambil tanggung jawab dalam tugas tersebut. Bentuk pengajaran yang demikian disebut scaffoldingyaitu dengan memberi pijakan melalui dorongan pembelajaran di segala usia.
Hal di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Santrock bahwa scaffolding berarti mengubah level dukungan. Sepanjang sesi pengajaran, seseorang yang lebih terampil (guru atau kawan yang lebih pandai) dapat menyesuaikan besarnya bimbingan yang diberikan, dengan prestasi. Ketika siswa mempelajari sebuah tugas baru, orang yang terampil dapat menggunakan instruksi langsung. Seiring dengan meningkatnya kompetensi siswa, bimbingan yang diberikan dapat dikurangi.
c. Bahasa dan Pikiran
Dialog adalah alat penting dalam zona perkembangan proksimal. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak dan spontan. Dalam suatu dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dapat dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis, dan rasional. Contohnya, suatu dialog antara guru dan anak akan menolong anak memahami suatu konsep seperti “transportasi”.
Penggunaan dialog sebagai alat scaffolding dalam ZPD hanyalah salah satu contoh peran penting bahasa dalam perkembangan anak. Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa untuk merencanakan, membimbing dan memonitor perilaku mereka. Penggunaan bahasa untuk kemandirian pribadi disebut kemampuan private speech. Bagi Piaget, kemampuan tersebut bersifat egosentris dan tidak matang, tetapi bagi Vygotksy hal tersebut adalah alat yang penting bagi pikiran selama tahun tahun awal masa anak.
3. Teori Pemrosesan Informasi
Dalam proses-proses kognitif, hal yang terpenting adalah persepsi, seleksi perhatian, memori, dan strategi kognitif. Memori merupakan inti dari perkembangan kognitif, sebab segala bentuk belajar dari individu melibatkan memori. Dengan memori, individu dimungkinkan untuk dapat menyimpan informasi yang ia terima sepanjang waktu. Tanpa memori individu mustahil dalam merefleksikan dirinya sendiri, karena pemahaman diri sangat tergantung pada suatu kesadaran yang berkesinambungan yang hanya terlaksana dengan adanya memori. Memori diperoleh melalui pemrosesan informasi.
Teori pemrosesan informasi mengedepankan bahwa individu memanipulasi, memonitor, dan menyusun strategi, terhadap informasi-informasi yang ditemuinya. Menurut santrock (2011: 29) Teori pemrosesan informasi tidak mendeskripsikan perkembangan dalam bentuk tahapan. Menurut teori ini individu secara bertahap mengembangkan kapasitas untuk memproses informasi, sehingga memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang kompleks.
Desmita (2012: 49) menyatakan bahwa teori pemrosesan informasi (information-processing theory) didasarkan atas tiga asumsi umum, pertama, pikiran dipandang sebagai suatu sistem penyimpanan dan pengambilan informasi. Kedua, individu-individu memproses informasi dari lingkungan, dan ketiga, terdapat keterbatasan pada kapasitas untuk memproses informasi dari seorang individu. Sedangkan Berk (2012: 312), Teori pemrosesan informasi lebih menekankan pada cara individu memproses informasi tentang dunia mereka, cara informasi masuk ke pikiran, cara informasi disimpan dan disebarkan, serta cara informasi diambil kembali untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang kompleks, seperti memecahkan masalah dan berpikir.
Robert Siegler (Santrock, 2011: 29), seorang ahli terkemuka di bidang pemrosesan informasi anak-anak, menyatakan bahwa kegiatan berpikir merupakan suatu bentuk pemrosesan informasi. Dengan kalimat, ketika individu menangkap, menuliskan sandi, menampilkan, menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi maka mereka sedang berpikir. Siegler mengedepankan bahwa aspek penting dari perkembangan adalah pembelajaran mengenai strategi-strategi yang baik untuk memproses informasi. Model pemrosesan informasi mempunyai beberapa komponen utama: stimulus lingkungan atau (input), sensory register (SR), short-term memory (STM), long-term memory (LTM), dan respon (output). Menurut model ini, ketika seseorang mencoba memecahkan suatu masalah, pada awalnya ia memperoleh informasi dari lingkungan melalui inderanya. Informasi yang diperoleh, kemudian disimpan sementara dalam sensory register (SR), memori penyimpan pertama. Sensory register merekam informasi secara seksama sebagaimanayang diterima semula, namun informasi ini akan menghilang atau tidak muncul dalam dua bagian kecil, kecuali seseorang memprosesnya kemudian.
Informasi yang mendapat perhatian khusus dari seseorang ditransfer ke short-term memory (STM), memori penyimpanan kedua. Short-term memory hanya dapat menyimpan informasi dalam jumlah yang terbatas, hanya sekitar 7 buah informasi pada satu waktu. Kemudian setelah salah satu informasi dilupakan atau diproses lebih lanjut, maka ia bergerak ke long-term memory (LTM), memori penyimpan ketiga. Dalam long-term memory ini informasi dapat disimpan secara lebih permanen. Akan tetapi dalam penyimpanan ini diperlukan berbagai strategi kognitif, seperti melatih informasi secara berulang-ulang atau mengorganisirnya dalam kelompok-kelompok yang dikenal. Tidak seperti short-term memory, long-term memorymemiliki kapasitas yang tidak terbatas untuk menyimpan informasi baru.
Selain penyimpanan memori, dalam pemrosesan informasi juga melibatkan atensi. Atensi merupakan kegiatan memfokuskan sumberdaya mental terhadap informasi tertentu. Kemampuan anak untuk memberikan perhatian meningkat secara signifikan selama masa prasekolah. Anak kecil yang baru belajar berjalan, berkeliling di sekitarnya, mengalihkan perhatian dari aktivitas yang satu ke aktiviitas yang lainnya, dan tampak bahwa perhatiannya pada objek atau peristiwa apapun hanya berlangsung sebentar. Sebagai perbandingan, anak prasekolah mungkin terlihat sedang menonton TV selama setengah jam. Meskipun demikian, paling tidak kendali atensi anak-anak prasekolah masih kurang dalam dua hal:
Dimensi yang menonjol versus dimensi yang relevan. Anak-anak prasekolah cenderung menaruh perhatian pada stimuli yang menonjol atau mencolok, meskipun stimuli tersebut tidak relevan untuk memecahkan masalah atau menjalankan sebuah tugas. Sebagai contoh, jika seorang badut yang mencolok memberikan pengarahan kepada anak-anak dalam memecahkan masalah, anak-anak prasekolah cenderung lebih menaruh perhatian pada badut tersebut dibandingkan pada pengarahan yang diberikannya. Setelah usia 6 atau 7 tahun, anak-anak dapat memperhatikan dimensi-dimensi tugas yang relevan secara lebih efisien, seperti dapat mengikuti pengarahan dalam memecahkan masalah. Perubahan ini mencerminkan suatu peralihan menuju kendali yang bersifat kognitif untuk memberikan atensi; dalam kondisi ini anak-anak menjadi kurang impulsive dan melakukan refleksi lebih banyak.
Santrock (2011: 225) berpendapat bahwa bayi sejak awal mempunyai kemampuan mengingat. Pengalaman seorang bayi berusia 6 bulan ternyata masih dapat diingatnya hingga 2 tahun kemudian. Anak usia prasekolah telah dapat memberikan reaksi verbal sehingga dapat lebih mudah diukur memorinya dibanding dengan usia bayi. Setelah anak usia 7 tahun tidak terlihat peningkatan yang berarti. Cara mereka memproses informasi menunjukkan keterbatasan-keterbatasan dibandingkan dengan prang dewasa. Berbeda dengan memory jangka panjang yang terlihat peningkatan seirng dengan penambahan usia selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Hal ini karena memori jangka panjang sangat tergantung pada kegiatan-kegiatan belajar individu ketika mempelajari dan mengingat sesuatu.
Faktor lain yaitu perencanaan. Ketika pelaku eksperimen meminta anak-anak untuk menilai apakah kedua gambar yang kompleks itu sama atau tidak, anak-anak prasekolah cenderung melakukan perbandingan dengan menggunakan strategi yang serampangan, tidak menelaah semua detail sebelum membuat penilaian. Sebagai perbandingan, anak-anak usia dasar cenderung leboh melakukan pembandingan secara sistematis terhadap detail-detail di berbagai gambar, satuu persatu. Strategi dan pemecahan masalah juga penting dalam teori ini. Teori pemrosesan informasi menekankan pentingnya menggunakan strategi-strategi yang baik. Strategi terdiri dari aktivitas mental yang dilakukan secara sengaja untuk meningkatkan pemrosesan informasi. Sebagai contoh anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa biasanya menggunakan strategi mengulang-ulang informasi dan mengorganisasikannya agar dapat mengingat secara efektif. Sementara itu, sebagian besar anak-anak kecil tidak menggunakan kedua strategi ini untuk mengingat.
D. Hakikat Psikososial
Dalam teori psikososial (psychosocial theory) (Berk, 2012: 20), Erikson menekankan bahwa selain melakukan mediasi antara dorongan id dan tuntutan superego, ego memberikan sumbangan positif bagi perkembangan, mendapatkan sikap dan keterampilan di setiap tahap sehingga individu menjadi anggota masyarakat yang aktif dan berguna. Slavin (2011: 63) mendefinisikan bahwa, teori psikososial adalah prinsip yang menghubungkan lingkungan sosial dengan perkembangan psikologis. Menurut Erikson (Slavin, 2011: 63-64) ada beberapa persoalan kritis yang harus diatasi masing-masing orang ketika mereka melewati tiap-tiap kedelapan tahap kehidupan.
Tabel 2.4. Tahap-tahap Perkembangan Pribadi dan Sosial menurut Erikson
Tahap | Perkiraan Usia | Krisis Psikososial | Hubungan Penting | Penekanan Psikososial |
I | Lahir-18 bulan | Kepercayaan vs Ketidakpercayaan | Orang yang bergantung pada ibu | Memperoleh Memberi sebagai balasan |
II | 18 bulan-3 tahun | Otonomi vs Keraguan | Orang yang bergantung pada orang tua | Mempertahankan Melepaskan |
III | 3-6 tahun | Inisiatif vs Rasa Bersalah | Keluarga dasar | Membuat (=mengejar) Menyerupai (=bermain) |
IV | 6-12 tahun | Kemegahan vs Inferioritas | Tetangga sekolah | Membuat sesuatu Menyatukan sesuatu bersama-sama |
V | 12-18 tahun | Identitas vs Kebingungan Peran | Kelompok sebaya dan panutan kepemimpinan | Menjadi (atau tidak menjadi) diri sendiri Berbagi menjadi diri sendiri |
VI | Dewasa Awal | Keintiman vs Keterasingan | Mitra dalam persahabatan. Seks, persaingan, kerja sama | Kehilangan dan menemukan diri sendiri dalam diri orang lain |
VII | Dewasa Pertengahan | Daya regenerasi vs Kesibukan diri | Pembagian tenaga kerja dan rumah tangga bersama | Memberi perhatian |
VIII | Dewasa Akhir | Integritas vs Keputusasaan | “Umat manusia” “Kaum saya” | Menjadi seseorang, melalui keterlibatan Menghadapi tidak menjadi seseorang |
Sumber: dari “Figure of Erikson’s Stages of Personality Development, “Childhood and Society, oleh Erik H. Erikson. Hak cipta 1950. © 1963 oleh W.W. Norton & Company, Inc., diperbaharui © 1978, 1991 oleh Erik H. Erikson. Dicetak ulang dengan izin W.W. Norton & Company, Inc.
Tabel 2.5. Tahapan Psikososial Erikson, berikut Tahapan Psikoseksual yang Ditunjukkannya (Berk, 2012: 21)
Tahap Psikososial | Periode Perkembangan | Deskripsi |
Kepercayaan vs Kecurigaan dasar (Oral) | Lahir-1 Tahun | Dengan pengasuhan hangat dan peka, bayi memiliki kepercayaan diri atau keyakinan bahwa dunia itu baik. Kecurigaan muncul bila bayi harus menunggu terlalu lama untuk bisa merasakan kenyamanan dan bila dperlakukan dengan kasar. |
Otonomi vs Malu dan Ragu (Anal) | 1-3 Tahun | Dengan menggunakan keterampilan mental dan motorik baru, anak-anak ingin memilih dan memutuskan sendiri. Orang tua bisa mendorong otonomi dengan memberikan banyak pilihan bebas sewajarnya da tidak memaksa atau membuat malu si anak |
Inisiatif vs Rasa Bersalah (Falik) | 3-6 Tahun | Melalui permainan pura-pura, anak-anak mengeksplorasi jenis pribadi seperti apa mereka ingin jadi nanti. Inisiatif-ambisi dan tanggung jawab-tumbuh bila orangtua mendukung cita-cita baru anak mereka. Bila orangtua terlalu banyak menuntut pengendalian diri, mereka akan meniru rasa bersalah yang berlebihan. |
Ketekunan vs Rendah Diri (Latensi) | 6-11 Tahun | Di sekolah anak-anak mengembangkan kemampuan kerja sama dan saling membantu antara satu sama lain. rasa rendah diri terjadi bila pengalaman negative di rumah, sekolah atau, bersama rekan sebaya memicu perasaan tak mampu. |
Identitas vs Kebingungan Peran (Genital) | Remaja | Remaja berupaya menjawab pertanyaan, “Siapa aku, dan apa peranku di tengah masyarakat?” Dengan menggali nilai dan tujuan kerja, anak muda membentuk identitas pribadi mereka. Hasil negatifnya adalah kegamangan mengenai apa peran mereka nanti di tengah masyarakat. |
Intimasi vs Isolasi | Dewasa Awal | Anak muda berusaha menjalin hubungan akrab dengan orang lain. oleh karena kekecewaan yang pernah dirasakan sebelumnya, beberapa individu tidak bisa membangun hubungan akrab dan tetap bersaing. |
Generativitas vs Stagnasi | Dewasa Pertengahan | Orang paruh baya berperan bagi geenerasi selanjutnya melalui membesarkan anak, merawat orang lain, atau melalui kerja produktif. Pribadi yang tidak mampu berbuat seperti itu merasa tidak memiliki pencapaian berarti. |
Integritas vs Rasa Putus Asa | Dewasa Akhir | Orang usia lanjut merenungkan jenis pribadi seperti apa mereka saat ini. Integritas muncul dari perasaan bahwa hidup itu pantas untuk dijalani. Mereka yang merasa tidak puas dengan hidup mereka terus dihantui oleh perasaan takut akan mati. |
Berdasarkan teori Erikson di atas dapat kita ketahui bahwa Erikson menekankan pada peran lingkungan dalam menyebabkan krisis maupun dalam menentukan cara mengatasi semua krisis itu. Tahap-tahap perkembangan pribadi dan sosial dilanjutkan melalui interaksi terus-menerus dengan orang lain dan dengan masyarakat sebagai keseluruhan. Selama ketiga tahap pertama, interaksi terutama berlangsung dengan orang tua dan anggota keluarga lain, tetapi sekolah memainkan peran utama bagi kebanyakan anak pada tahap IV (kemegahan versus inferioritas) dan Tahap V (identitas versus kebingungan peran). Teori Erikson menjelaskan masalah-masalah dasar yang dihadapi orang ketika dia menjalani kehidupan. Namun, teorinya telah dikritik karena teori tersebut tidak menejelaskan bagaimana atau mengapa orang melangkah dari satu tahap ke tahap lain dan karena teori itu sulit dipastikan melalui riset (Green, 1989; Miller, 1993).
E. Hakikat Perkembangan Moral
1. Teori Perkembangan Moral Menurut Piaget
Menurut Piaget (Slavin, 2011: 67), bahwa ada hubungan antara tahap-tahap perkembangan kognisi dan kemampuan nalar tentang masalah moral. Piaget mengakui bahwa struktur dan kemampuan kognisi berkembang terlebih dahulu, kemudian kemampuan kognisi menentukan kemampuan anak-anak bernalar tentang situasi sosial. Jadi ketika berkembang anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima.
Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja:
1. Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
2. Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka. Perkembangan moral menurut piaget berlangsung dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, dari tahap tipe penalaran moral yang sangat egosentriske tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan kerja sama dengan tindakan timbal-balik. Berikut ini tahap perkembangan moral menurut Piaget :
1) Tahap heteronomous
Tahap ini terjadi pada awal kehidupan anak, belum memiliki pendirian yang kuat dalam menentukan sikap dan perilaku atau dapat dikatakan bahwa dalam menentukan pilihan keputusan sebuah perilaku masih dilandasi oleh aneka ragam dan sering bertukarnya ketentuan dan kepentingan. Contoh : anak kecil jika ditanya pilih warna merah atau kuning? Maka antara jawaban pertama kedua dan seterusnya besar kemungkinan akan berbeda.
Berikut ini keadaan perkembangan moral dalam tahap Heteronomous adalah :
1. Terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
2. Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku. Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
3. Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
4. Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
5. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
6. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
2) Tahap Autonomous
Dimana pada tahap ini seorang anak telah memiliki sikap dan perilaku moralitasnya yang tercermin dari dirinya dan telah didasari oleh pendiriannya sendiri. Contoh : anak yang menginginkan sebuah mainan dia akan tetap berusaha memainkan mainan tersebut meskipun harus antri menunggu giliran. Berikut ini tahapan perkembangan moral tahap Autonomous:
1. Diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
2. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
3. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
4. Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Untuk memperjelas teori Piaget yang telah dipaparkan diatas, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.6. Tahap-tahap Perkembangan Moral Piaget(Slavin, 2011: 68)
Ketika orang berkembang kemampuan kognisinya, pemahaman mereka tentang masalah moral juga menjadi makin canggih. pandangan anak-anak kecil (young children) tentang yang benar dan yang salah lebih bersikap kaku daripada kecendrungan sikap anak-anak besar (older children) | |
Moralitas Heteronom (anak kecil) | Moralitas Otonom (Anak Besar) |
Didasarkan pada hubungan paksaan; misalnya, penerimaan utuh oleh anak terhadap ketentuan orang dewasa | Didasarkan pada hubungan kerja sama dan pengakuan bersama terhadap kesetaraan di antara individu-individu yang otonom, seperti pada hubungan antara orang-orang yang sejajar |
Tercermin dalam sikap realisme moral : aturan dipandang sebagai ketentuan yang tidak fleksibel asal dan wewenangnya dari luar; tidak terbuka akan adanya negosiasi; dan benar hanya berarti ketaatan harafiah terhadap orang dewasa dan aturan | Tercermin kedalam sikap moral rasional: aturan dilihat sebagai produk kesepakatan bersama, terbuka pada negosiasi ulang, dijadikan sah melalui peneriamaan pribadi dan persetujuan bersama, dan benar berarti bertindak sesuai dengan ketentuan kerja sama dan sikap saling menghormati. |
Kejahatan dinilai berdasarkan bentuk objektif dan konsekuensi tindakan; keadilan disamakan dengan isi keputusan orang dewasa; hukuman yang semena-mena dan kejam dipandang adil | Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang terkait dengan maksud pelakunya; keadilan didefenisikan sebagai perlakuan setara atau kesediaan mempertimbangkan kebutuhan individu; keadilan hukum berdasarkan kepantasannya atas pelanggaran. |
Hukuman dilihat sebagai konsekuensi otomatis pelanggaran, dan keadilan dilihat sebagai sesuatu yang melekat. | Hukuman dilihat sebagai sesuatu yang dipengaruhi oleh maksud manusia |
Sumber : Social and Personality , Edisi ke-1, oleh Michael E. Lamb, hal. 213, h. 1978. Dicetak ulang dengan seizin Wadsworth, divisi Thomson Learning : www.thomsonrights.com , faks : 800-730-2215
2. Teori Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Kohlberg (1976, 1986) Santrock (2011: 97) mendefinisikan bahwa “Kohlberg’s Theory stressed that moral development primarily involves moral reasoning and occurs in stages”. Hal ini diketahui bahwa teori Kohlberg menekankan bahwa pengembangan moral melibatkan penalaran moral dan terjadi secara bertahap. Ada tiga level dan enam tahap penalaran moral menurut Kohlberg (Ormrod, 2008: 138):
Tabel 2.7. Penalaran Moral menurut Kohlberg
Level | Rentang Usia | Tahap | Esensi Penalaran Moral |
Level 1: Moralitas Prakonvensional | Ditemukan pada anakanak prasekolah, sebagian besar anak-anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMU | Tahap I: Hukuman-Penghindaran dan kepatuhan (punishment-avoidance and obedience) | Orang membuat keputusan berdasarkan apa yang terbaik bagi mereka, tanpa mempertimbangkan kebutuhan atau perasaan orang lain. orang mematuhi peraturan hanya jika peraturan tersebut dibuat oleh orang-orang yang lebih berkuasa, dan mereka mungkin melanggarnya bila mereka merasa pelanggaran tersebut tidak ketahuan orang lain. perilaku yang “salah” adalah perilaku yang akan mendapat hukuman. |
Tahap 2: Saling memberi dan menerima (Exchange of favors) | Orang memahami bahwa orang lain juga memiliki kebutuhan, mereka mungkin mencoba memuaskan kebutuhan orang lain apabila kebutuhan mereka sendiri pun akan terpenuhi melalui perbuatan tersebut (“bila kamu mau memijat punggungku; akupun akan memijat punggungmu”). Mereka masih mendefinisikan yang benar dan yang salah berdasarkan konsekuensinya bagi diri mereka sendiri. | ||
Level 2: Moralitas Konvensional | Ditemukan pada segelintir siswa SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU (Tahap 4 biasanya tidak muncul sebelum masa SMU) | Tahap 3: Anak baik (good boy/ good girl) | Orang membuat keputusan melakukan tindakan tertentu semata-mata untuk menyenagkan orang lain, terutama tokoh-tokoh yang memiliki otoritas (seperti guru, teman sebaya yang popular). Mereka sangat peduli pada terjaganya hubungan persahabatan melalui sharing, kepercayaan, dan kesetiaan, dan juga mempertimbangkan perspektif serta maksud orang lain ketika membuat keputusan. |
Tahap 4: Hukum dan tata tertib (Law and keteraturan) | Orang memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh yang menyediakan pedoman bagi perilaku. Mereka memahami bahwa peraturan itu penting untuk menjamin berjalan harmonisnya kehidupan bersama, dan meyakini bahwa tugas mereka adalah mematuhi peraturan tersebut. Meskipu begitu, mereka menganggap peraturan itu bersifat kaku 9tidak fleksibel; mereka belum menyadari bahwa sebagaimana kebutuhan masyarakat berubah-ubah, peraturan pun juga seharusnya berubah | ||
Level 3: Moralitas Postkonvensional | Jarang muncul sebelum masa kuliah | Tahap 5: Kontrak sosial (Social contract) | Orang memahami bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan representasi dari persetujuan banyak individu mengenai perilaku yang dianggap tepat. Peraturan dipandang sebagai mekanisme yang bermanfaat untuk memelihara keteraturan sosial dan melindungi hak-hak individu, alih-alih sebagai perintah yang bersifat mutlak yang harus dipatuhi smeata-mata karena merupakan “hukum”. Orang juga memahami fleksibilitas sebuah peraturan yang tidak lagi mengakomodasi kebutuhan tertpenting masyarakat bisa dan harus diubah. |
Tingkat 6: Prinsip etika universal (tahap ideal yang bersifat hipotesis, yang hanya dicapai segelintir orang) | Orang-orang setia dan taat pada beberapa prinsip abstrak dan universal (misalnya, kesetaraan semua orang, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia, komitmen pada keadilan yang melampaui norma-norma dan peraturan-peraturan spesifik. Mereka sangat mengikuti hati nurani dan karena itu bisa saja melawan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis mereka sendiri. |
Sumber: Colby & Kohlberg, 1984; Colby, Kohlberg, Gibbs & Lieberman, 1983; Kohlberg, 1976, 1984, 1986; Reimer, Paolitto, &Hersh, 1983; Snarey, 1995.
Menurut Kohlberg ada tiga tingkatan tentang moral, disetiap tingkatannya memiliki dua tahapan (Santrock, 2011: 97-98).
1) Penalaran Prakonvensional adalah
Tingkat terendah dari penalaran dari penalaran moral menurut Kolbergh. Pada tingkat ini baik buruk diinterpretasikan melalui reward dan punishment eksternal.
a) Tahap 1 moralitas Heteronom adalah tahap pertama pada tingkatan penalaran prakonvensional. Pada tahap ini penalaran moral terkait dengan punishment.
b) Tahap 2 Individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran adalah tahapan kedua dari penalaran prakonvensional. Pada tahapan ini penalaran individu yag memikirkan kepentingan diri sendiri adalah hal yang benar dan hal yang juga berlaku untuk orang lain. Karena itu, menurut mereka apa yang benar adalah sesuatu yang melibatkan pertukaran yang setara.
2) Penalaran Konvensional
Pada tingkatan ini individu memberlakukan standar tertentu, tetapi standar ini ditentukan oleh orang lain, misalnya orang tua.
a) Tahap 3 Ekspektasi Interpersonal mutual, hubungan dengan orang lain, dan konformitas interpersonal merupakan tahap ketiga dari perkembangan moral menurut Kolbergh, pada tahap ini individu menghargai kepercayaan, perhatian, ddan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar penilaian moral. Anak dan remaja sering kali mengadopsi standar moral orang tua pada tahap ini, agar dianggap oleh orang tua sebagai anak baik.
b) Tahap 4 Moralitas sistem sosial, pada tahapan ini penilaian moral didasari oleh pemahaman tentang keteraturan masyarakat, hukum keadilan, dan kewajiban.
3) Penalaran Pasca Konvensional
Individu menyadari adanya jalur moral alternatif, mengeksplorasi pilihan ini, lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal.
a) Tahap 5 Kontrak atau utilitas sosial dan hak individu. Pada tahap ini individu menalar bahwa nilai, hak dan prinsip lebih utama dan lebih luas daripada hukum. Seseorang mengevaluasi validitas hukum yang ada, dan sistem sosial dapat diuji berdasarkan sejauh mana menjamin dan melindungihak asasi dan nilai dasar manusia.
b) Tahap 6 Prinsip etis universal, tahapan ini seseorang telah mengembangkan standar moral berdasarkan hak asasi manusia universal.
F. Hakikat Perkembangan Bahasa
1. Definisi Perkembangan Bahasa
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Menurut Jackman (2012: 82), “Language human speech the written symbols for speech or any means of communicating.” Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa bahasa manusia melalui ucapan lewat simbol yang ditulis untuk diucapkan atau digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa mampu mengekspresikan suatu budaya. Menurut Genishi dan Dyson (Jackman,2012: 82) “Language is a cultural means expression, that like a culture itself, has multiple facets and uses.” Hal ini diketahui bahwa bahasa adalah ekspresi budaya, yang seperti budaya itu sendiri, memiliki beberapa aspek dan kegunaan.
Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh kemampuan mengirim dan menerima informasi. Menurut Jackman(2012: 82):
“Language development follows a predictable sequence. It is related, but not tied, to chronological age. This developmental process includes both sending and receiving information. It is important to remember that language is learned through use”.
Perkembangan bahasa adalah urutan yang dapat diprediksi. Hal itu terkait, namun tidak terikat dengan usia kronologis. Proses perkembangan ini mencakup pengiriman dan penerimaan informasi. penting untuk diingat bahwa bahasa dipelajari melalui penggunaan. Perkembangan bahasa sebagai salah satu dari kemampuan dasar yang harus dimiliki anak, sesuai dengan tahapan usia dan karakteristik perkembangannya. Perkembangan adalah suatu perubahan yang berlangsung seumur hidup dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi seperti biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Bahasa adalah suatu sistem simbol untuk berkomunikasi yang meliputi fonologi (unit suara), morfologi (unit arti), sintaksis (tata bahasa), semantik (variasi arti), dan pragmatik (penggunaan) bahasa. Dengan bahasa, anak dapat mengkomunikasikan maksud, tujuan, pemikiran, maupun perasaannya pada orang lain.
Dalam membahas perkembangan bahasa sangat penting untuk selalu mengingat bahwa bahasa terdiri dari lima sistem aturan, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik sehingga bisa mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada sistem aturan tersebut pada usia tertentu (Santrock, 2011: 58-59):
a. Fonologis, berkaitan dengan penguasaan sistem suara/ bunyi. Seorang anak yang akan berbicara, akan mendengar segala hal yang distimulus kepadanya lalu otak mereka menyerap dan memproses. Ketika anak mengeluarkan suara untuk pertama kalinya seperti “hm..”itulah fonologis.
b. Morfologis, berkaitan dengan penguasaan pembentukan kata-kata. Pusat bahasa yang ada di dalam otak seorang anak, setelah menerima stimulus akan memproses lebih lanjut kepada pemahaman akan intonasi kata, bahasa yang diterima anak dari ibunya akan sama dengan apa yang dikeluarkannya. Contoh ketika anak haus, seorang ibu akan menstimulus dengan kata ”susu” atau “minum”. Anak akan mengucapkan dengan intonasi yang sama namun kata yang diucapkan akan menjadi “cu cu” atau “mi mi”.
c. Sintaksis, berkaitan dengan penguasaan tata bahasa. Ini merupakan periode kritis dalam pertumbuhan bahasa, karena anak-anak mengolah, menguji dan mengingat bahasa. Contoh anak sudah dapat mengatakan “main bola” atau “mau susu” dengan jelas.
d. Semantik, berkaitan dengan penguasaan arti bahasa. Terjadi pada anak ketika sudah memasuki usia 5-6 tahun. Anak-anak sudah dapat berkomunikasi dengan orang disekelilingnya dan kosakata mereka terus bertambah, pemahaman makna pun bertambah karena anak selalu bertanya “apa maksudnya?”
e. Pragmatik, berkaitan dengan penguasaan aturan-aturan berbicara. Dalam tahap ini anak-anak biasanya sudah mengerti cara berbicara dan mulai belajar untuk berkomunikasi yang baik dan benar. Contoh, kapan anak-anak mendengar nasihat orang tua, kapan anak-anak dapat mengungkapkan perasaannya atau keinginannya kepada orang-orang disekelilingnya. Seorang anak sudah mulai memahami norma yang berlaku di lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa adalah urutan perkembangan yang dapat diprediksi, perkembangan bahasa tidak terikat dengan usia kronologis. Proses perkembangan ini mencakup bahasa reseptif dan ekspresif, dimana reseptif terdiri dari menyimak dan berbicara sedangkan ekspresif terdiri dari membaca dan menulis. Dalam membahas perkembangan bahasa sangat penting untuk selalu mengingat bahwa bahasa terdiri dari sistem aturan, seperti fonologi (bunyi), morfologi (penguasaan pembentukan kata-kata), sintaksis (penguasaan tata bahasa), semantik (penguasaan arti bahasa), dan pragmatik (penguasaan aturan-aturan berbicara) sehingga bisa mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang terjadi pada sistem aturan tersebut pada usia tertentu.
2. Teori-teori Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa pada anak tidak terlepas dari berbagai teori yang dikemukakan para ahli. Pemahaman akan berbagai teori dalam perkembangan bahasa dapat mempengaruhi dalam menerapkan metode yang tepat bagi implementasi terhadap perkembangan bahasa anak itu sendiri sehingga diharapkan pendidik mampu mencari dan membuat bahan pengajaran yang sesuai dengan tingkat usia anak. Adapun beberapa teori yang menyangkut dalam perkembangan bahasa adalah (Jalongo, 2007: 158):
a. Teori Behavioristik oleh Skinner, mendefinisikan bahwa pembelajaran dipengaruhi oleh perilaku yang dibentuk oleh lingkungan eksternalnya, artinya pengetahuan merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungannya melalui pengkondisian stimulus yang menimbulkan respon. Perubahan lingkungan pembelajaran dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku anak secara bertahap. Perilaku positif jika diperkuat cenderung untuk diulangi lagi karena pemberian penguatan secara berkala dan disesuaikan dengan kemampuan anak akan efektif untuk membentuk perilaku anak. Latihan yang diberikan kepada anak harus dalam bentuk pertanyaan (stimulus) dan jawaban (respon) yang dikenalkan anak melalui tahapan-tahapan, mulai dari yang sederhana sampai pada yang lebih rumit contoh: sistem pembelajaran drilling. Anak akan memberikan respon pada setiap pembelajaran dan dapat segera memberikan balikan. Di sini Pendidik perlu memberikan penguatan terhadap hasil kerja anak yang baik dengan pujian atau hadiah.
b. Teori Nativistik oleh Chomsky, mengutarakan bahwa bahasa sudah ada di dalam diri anak. Pada saat seorang anak lahir, dia telah memiliki seperangkan kemampuan berbahasa yang disebut ‘Tata Bahasa Umum” atau ‘Universal Grammar’. Meskipun pengetahuan yang ada di dalam diri anak tidak mendapatkan banyak rangsangan, anak akan tetap dapat mempelajarinya. Anak tidak sekedar meniru bahasa yang dia dengarkan, tapi ia juga mampu menarik kesimpulan dari pola yang ada. Teori ini berpengaruh pada pembelajaran bahasa dimana anak perlu mendapatkan model pembelajaran bahasa sejak dini. Anak akan belajar bahasa dengan cepat sebelum usia 10 tahun apalagi menyangkut bahasa kedua. Lebih dari usia 10 tahun, anak akan kesulitan dalam mempelajari bahasa.
c. Teori Konstruktivistik oleh Piaget, Vigotsky dan Gardner, menyatakan bahwa perkembangan kognisi dan bahasa dibentuk dari interaksi dengan orang lain sehingga pengetahuan, nilai dan sikap anak akan berkembang. Anak memiliki perkembangan kognisi yang terbatas pada usia-usia tertentu, tetapi melalui interaksi sosial anak akan mengalami peningkatan kemampuan berpikir. Pengaruhnya dalam pembelajaran bahasa adalah anak akan dapat belajar dengan optimal jika diberikan kegiatan sementara anak melakukan kegiatan perlu didorong untuk sering berkomunikasi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa dapat dipelajari melalui beberapa teori, antara lain: teori Behavioristik, teori Nativistik, dan teori Konstruktifistik.
3. Tahap-tahap Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa maju dalam suatu pola bertahap. Ini berarti bahwa performansi linguistik seorang anak sesungguhnya tetap konstan dalam suatu kurun waktu. Teori belajar behavioris akan meramalkan perkembangan bahasa yang terus-menerus menaik. Maka jauh lebih tepat melukiskan perkembangan bahasa dalam tahap-tahap dibanding secara terus-menerus menaik, tetapi ini tidak berarti bahwa tahap-tahap tersebut tidak bertumpang tindih. Tentu saja terjadi demikian. Sebagaimana kita dapat berkata bahwa seorang bayi berada dalam tahap merangkak, kemudian tahap berjalan, maka kita pun dapat berkata bahwa seorang bayi berada dalam tahap satu kata diikuti oleh tahap dua kata. Anak-anak terus-menerus mempergunakan ucapan-ucapan satu kata setelah mereka mengembangkan keterampilan mempergunakan ucapan-capan dua kata, tetapi ucapan satu kata itu berkurang dalam frekuensi. Tahap-tahap perkembangan bahasa anak, adalah sebagai berikut(Santrock, 2011: 245):
a. Tahap Meraban Pertama (Pralinguistik) Pertama
Pada tahap meraban pertama, selama bulan-bulan awal kehidupan, bayi menangis, mendekut, mendenguk, menjerit, dan tertawa. Tahap meraban pertama ini dialami oleh anak berusia 0-5 bulan. Mereka seolah-olah menghasilkan tiap-tiap jenis bunyi yang mungkin dibuat. Banyak pengamat yang telah menandai ini sebagai tahap bayi menghasilkan segala bunyi ujaran yang dapat ditemui dalam segala bahasa dunia. Bagaimanapun juga, hal yang penting bahwa suara-suara bayi yang masih kecil itu secara linguistik tidak merupakan ucapan yang berdasarkan organisasi fonemik dan fonetik. Suara-suara atau bunyi-bunyi ujaran, baru merupakan tanda-tanda akustik yang diturunkan oleh bayi jika mereka menggerakkan alat bicaranya. Mereka bermain dengan alat-alat suara mereka, sebagaimana mereka bermain dengan tangan dan kaki mereka, tetapi rabanan mereka hendaknya jangan digolongkan sebagai performansi linguistik. Hal yang menarik untuk dicatat bahwa bayi-bayi yang tuli sekalipun maju dengan agak normal selama tahap permulaan ini.
b. Tahap Meraban (Pralinguistik) Kedua
Tahap meraban kedua ini dialami oleh anak berusia 6 bulan-1 tahun. Tahap ini disebut juga tahap kata omong-kosong, tahap kata tanpa makna. Awal tahap meraban kedua ini biasanya pada permulaan kedua, tahun pertama kehidupan. Sekalipun anak-anak tidak dapat dikatakan mempergunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya, namun produksi pada saat ini seolah-olah jauh lebih dekat kepada ujaran daripada yang mereka buat pada tahap meraban pertama. Ciri-ciri yang menarik dari meraban pada periode ini ialah rabanan tersebut seringkali dihasilkan dengan intonasi kalimat, kadang-kadang dengan tekanan menurun yang ada hubungannya dengan pertanyaan-pertanyaan.
c. Tahap I: Tahap Holofrastik (Tahap Lingustik Pertama)
Ini adalah tahap satu kata, yang dimulai sekitar usia satu tahun. Ucapan satu-kata pada periode ini disebut holofrase karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Demikianlah, anak-anak yang mengatakan susu dapat berarti bahwa dia mempunyai segelas susu ataupun mungkin dia melaporkan bahwa susunya diminum kucing atau tumpah. Banyak sekali terdapat kedwimaknaan dalam ujaran anak-anak selama tahap ini dan juga berikutnya. Maka, seringkali perlu diamati benar-benar apa yang sedang dilakukan anak-anak itu, barulah kita dapat menentukan apa yang dia maksud atas apa yang di ucapkan itu.
d. Tahap II: Ucapan-ucapan Dua Kata
Tahap ini biasanya mulai menjelang hari ulang tahun kedua. Anak-anak memasuki tahap ini dengan pertama kali mengucapkan dua holofrase dalam rangkaian yang cepat. Keterampilan anak pada akhir tahap ini makin luar biasa. Komunikasi yang ingin ia sampaikan adalah bertanya dan meminta. Kata-kata yang digunakan untuk itu sama seperti perkembangan awal yaitu: sini, sana, lihat, itu, ini, lagi, mau dan minta. Selain keterampilan mengucapkan dua kata, anak terampil melontarkan kombinasi antara informasi lama dan baru. Pada periode ini tampak sekali kreativitas anak. Keterampilan tersebut muncul pada anak dikarenakan makin bertambahnya pembendaharaan kata yang diperoleh dari lingkungannya dan juga karena perkembangan kognitif serta fungsi biologis pada anak.
e. Tahap III: Pengembangan Tata Bahasa (struktur gramatika)
Tahap ini dimulai sekitar usia anak 2,6 tahun, tetapi ada juga sebagian anak yang memasuki tahap ini ketika memasuki usia 2 tahun, bahkan ada juga anak yang lambat yaitu ketika anak berumur 3 tahun. Selama Tahap III anak-anak mengembangkan sejumlah sarana ketatabahasaan. Panjang kalimat mereka bertambah, tetapi hal ini tidaklah begitu penting karena ucapan-ucapan mereka semakin bertambah rumit. Tahap ini terutama untuk pengembangan sarana ketatabahasaan yang terdapat pada kalimat-kalimat tunggal. Bentuk-bentuk negatif dan pertanyaan pun diperhalus tetapi belum sempurna selama tahap ini. Ujaran anak-anak sebagai penambahan serta pengayaan jumlah dan tipe kata-kata secara berangsur-angsur yang dipergunakan sejalan dengan kemajuan maturasi (pematangan seorang anak). Ada beberapa keterampilan mencolok yang dikuasai anak pada tahap ini:
1) Pada akhir periode ini secara garis besar anak telah menguasai bahasa ibunya.
2) Perbendaharaan kata berkembang.
3) Mereka mulai dapat membedakan kata kerja (contoh: minum, makan, pergi, pulang, mandi), dan kata-kata benda (buku, baju, gelas, nasi, susu) dan sudah dapat mempergunakan kata depan (di, ke, dari), kata ganti (aku, saya) dan kata kerja bantu (tidak, bukan, mau, sudah).
4) Fungsi bahasa untuk berkomunikasi betul-betul mulai berfungsi.
5) Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain.
6) Tumbuhnya kreativitas anak dalam pembentukan kata-kata baru. Hal ini terjadi karena memang daya fantasi anak pada tahap ini sedang pesat berkembang
f. Tahap IV: Tata Bahasa Menjelang Dewasa
Perbaikan yang diperlukan oleh anak-anak pada masa ini mencakup belajar banyak kekecualian dari keteraturan sintaksis dan fonologis dalam bahasa tersebut. Charol Chomsky (1969) melaporkan serangkaian telaah yang memperlihatkan bahwa perincian yang baik mengenai struktur linguistik masih tetap berkembang pada anak-anak antara usia lima sampai sepuluh tahun. Pada tahap ini anak sudah tidak mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi-bunyi suara. Untuk memperkaya kebahasaan anak orang tua atau guru dapat mulai dengan mendongeng, bernyanyi atau bermain bersama anak di samping sesering mungkin mengajaknya bercakap-cakap.
g. Kompetensi lengkap
Pada akhir masa anak-anak, setiap orang yang tidak mendapat rintangan apa-apa, sebenarnya telah mempelajari semua sarana sintaksis bahasa ibunya dan keterampilan-keterampilan performansi yang menandai untuk memahami dan menghasilkan bahasa yang biasa. Tentu saja perbendaharaan kata-kata seseorang terus-menerus bertambah selama masa kanak-kanak dan bahasa seseorang berubah dalam gaya dan diharapkan bertambah lancar serta fasih setelah melewati masa kanak-kanak.
Tabel 2.8. Perkembangan Bahasa yang Sudah Harus dicapai Anak Umur 18 Bulan sampai 7 Tahun (Feit, 2007)
Umur | Bahasa Reseptif | Bahasa Ekspresif | Keterampilan Sosial |
18-24 bulan | · Menunjukkan kelima bagian tubuh · Menggeleng dalam merespon pertanyaan ya atau tidak · Mengerti 300 kata · Mendengarkan ketika gambar-gambar diberi nama · Mengikuti komando 2 tahap. Mis: ambil seaptu dan berikan ke mama | · Mengatakan 50 kata · Menamakan objek familiar · Mengatakan frasa dua kata, mis: sepatu mama; maksudnya mama pakai sepatuku · Pakai nama sendiri untuk menyebut diri sendiri · Memakai kata komando; ayo | · Terlibat dlam permainan pura-pura (bicara di telepon, memberi makan bayi) |
2-2.5 tahun | · Mengerti konsep “satu “ dan “semua” · Mengerti 500 kata · Mengerti konsep “kecil” dan “besar” | · Mengatakan 200 kata · Mengganti w dengan r (wed for red). Y for l (lelo for yellow) · Mulai bertanya dan menjawab pertanyaan “apa” dan “di mana” · Menggunakan beberapa kata benda jamak · Menanyakan pertanyaan mendasar, tapi biasanya dengan intonasi (Ayah pergi?), belum “kemana Ayah pergi?” · Minta tolong ketika kesulitan mengerjakan tugas · Dapat dimengerti orang lain setidaknya 50%. Mulai menggunakan kata empunya, punyaku. | · Minta tolong menyikat gigi dan pergi ke kamar mandi · Menyanyi lagu yang familiar dengan orang dewasa |
2.5-3 tahun | · Mengerti 900 kata · Menunjuk ke gambar-gambar objek dengan fungsinya. Ketika ditanya: Apa yang membuat makan dingin? Menunjuk ke lemari es | · Mengatakan 500 kata · Tahu kata empunya ketiga (ia, mereka, kami, kita) · Mengatakan mereka laki-laki atau perempuan · Dengan jelas mengucapkan p, m, n, w, h · Menyebut diri sendiri dengan namanya · Menggunakan kata empunya (aku, kamu, punyaku) | · Mulai berkata tetntang peristiwa lampau · Menggambarkan apa yang ia lakukan ketika bermain atau terlibat dalam aktivitas |
3-3.5 tahun | · Mengerti 1.200 kata · Respon terhadap 2 komando tak berhubungan, mis: taruh buku di rak buku, dan ambilo sepatumu | · Mengatakan 800 kata · Menamakan warna-warna dasar · Memakai kata kerja lampau (aku ingin k kebun binatang kemaren) · Menjawab pertanyaan sederhana, apa, siapa, mengapa, berapa banyak? · Mulai terus-menerus menanyakan mengapa? | · Menggunakan interaksi percakapan kompleks dengan anak lain, mis: negoisasi peran ketika bermain |
3.5-4 tahun | · Mengerti 1.500-2.000 kata · Tahu “ di depan” dan “di belakang” · Respon terhadap komando 3 tahap | · Menghitung 5 objek · Mengatakan umurnya sendiri dan nama lengkapnya · Biasanya dimengerti oleh orang selain keluarganya · Melakukan analog verbal · Jelas mengucapkan b, d, k, g, f, y · Mengatakan bagaimana objek umum dipakai | · Mengulang lagu · Mensyortir objek ke dalam kategori tapi mungkin tidak dapat melabel mereka · Mengerti ketika informasi tidak benar atau protes secara verbal · Mengorganisir permainan pura-pura |
4-5 tahun | · Mengerti 2.000-2.800 kata | · Menggunakan 1.500- 2.000 kata · Salah artikulasi beberapa kata yang sulit · Mulai memakai kata benda jamak · Bermain dengan kata-kata dan menciptakan irama kata sendiri · Menceritakan cerita familiar tanpa petunjuk gambar-gambar · Menciptakan kalimat-kalimat kompleks · Tahu “antara, di bawah, di atas, paling bawah” · Tahu “berat, ringan, keras, lembut” · Memakai kata ganti empunya secara konsisten · Mengerti berat/ ringan. Keras/ lembut | · Mengidentifikasi pertama, terakhir, tengah-tengah · Memakai ekspresi umum · Memakai gambar untuk “membaca” cerita · Mengerti musim, dan mengerti apa yang dapat dilakukan di tiap musim · Memerhatikan cerita pendek dan menjawab pertanyaan sederhana tentang cerita itu. · Menceritakan cerita dan konsisten terhadap topiknya · Suara jelas seperti anak lain · Mencari jawaban terhadap pertanyaan yang bermakna, mis: mengapa itu terjadi |
5-7 tahun | · Mengerti hampir semua yang mereka dengar, konsisten terhadap pengertuian mereka tentang dunia sekitarnya · Mengerti lebih/ kurang, kemarin-besok, paling banyak/ paling sedikit | · Menghitung 20 objek · Memberi nama hari secara urut · Mengatakan bulan dan hari tanggal lahir · Memakai kata benda jamak tidak secara konsisten (anak-anak, tikus-tikus, perempuan-perempuan) · Menggunakan semua kata depan secara konsisten · Memakai kalimat pasif (temanku Agus dicakar kucing) · Menyatakan persamaan dan perbedaan antara objek | · Mengatakan lelucon sederhana · Menyatakan kemarahan dengan kata-kata yang tidak agresif, bukan aktivitas fisik · Menyadari kesalahan pada percakapan orang lain · Menceritakan cerita yang berhubungan mengenai sebuah gambar, melihat hubungan antara objek dan apa yang terjadi · Memiliki percakapan yang baik secara sosial bermanfaat · Tertarik belajar, produktivitas, dan membaca |
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan bahasa memiliki tahapan-tahapan yang sesuai dengan usia perkembangannya, antara lain: Tahap Meraban Pertama (Pralinguistik) Pertama, Tahap Meraban (Pralinguistik) Kedua, Tahap I: Tahap Holofrastik (Tahap Lingustik Pertama), Tahap II: Ucapan-ucapan Dua Kata, Tahap III: Pengembangan Tata Bahasa(struktur gramatika), Tahap IV: Tata Bahasa Menjelang Dewasa, Kompetensi lengkap.
G. Implikasi Teori Perkembangan bagi Proses Pendidikan
1. Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget dalam Pendidikan
Berdasarkan pemaparan teori perkembangan menurut para ahli implikasi teori Piaget dalam proses pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Gunakan Pendekatan Konstruktif
Piaget menekankan bahwa anak-anak belajar dengan baik ketika mereka aktif dan mencari solusi secara mandiri. Piaget melawan metode-metode pengajaran yang memperlakukan anak sebagai penerima yang pasif. Implikasi pendidikan dari pandangan Piaget adalah bahwa dalam semua pelajaran, semua murid akan belajar baik dengan melakukan eksperimen, dan berdiskusi, ketimbang hanya membabi buta menirukan guru atau melakukan sesuatu secara hafalan.
b. Melakukan Pembelajaran Fasilitatif seperti Pembelajaran Langsung
Guru-guru yang efektif mendesain situasi-situasi yang membiarkan murid-muridnya belajar sambil bertindak. Situasi-situasi sepeti ini mengembangkan penalaran dan kreativitas murid. Guru mendengar, memperhatikan, dan memberi pertanyaan pada murid, untuk membantu mereka meraih pemahaman yang lebih baik. Jangan hanya menilai apa yang dipikirkan para murid dan hasilnya. Lebih baik, secara teliti amatilah mereka dan pahami bagaimana mereka berpikir. Tanyakan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk merangsang pemikiran mereka, dan mintalah mereka menjelaskan jawaban mereka.
c. Pertimbangkan Pengetahuan Anak dan Tingkat Pemikiran Mereka
Murid tidak datang ke kelas dengan pikiran yang kosong. Mereka memiliki banyak pemahaman tentang dunia fisik dan alam. Mereka memiliki konsep-konsep tentang ruang, waktu, kuantitas, dan sebab-akibat. Pemahaman ini berbeda dengan pemahaman-pemahaman orang dewasa. Guru perlu menerjemahkan apa yang dikatakan seorang murid dan meresponnya secara yang tidak terlampaui jauh dari tingkat pemikiran mereka. Piaget juga menyarankan pentingnya menilai kesalahan-kesalahan anak dalam berpikir, bukan saja untuk membenarkan cara berpikir mereka tetapi juga untuk membimbing mereka menuju tingkat pemahaman yang lebih tinggi.
d. Gunakan Penilaian yang Bersinambungan
Makna-makna yang terkonstruksi secara individual tidak dapat diukur dengan tes-tes yang distandarkan. Portofolio matematika dan bahasa (yang terdiri dari pekerjaan yang belum selesai maupun hasil kerja yang lengkap), musyawarah-musyawarah dimana murid dapat mendiskusikan strategi-strategi pemikiran mereka, serta penjelasan-penjelasan verbal dan tertulis dari murid tentang pemikiran-pemikiran mereka dapat digunakan untuk mengevaluasi kemajuan mereka.
e. Tingkatkan Kesehatan Intelektual Murid
Bagi Piaget, pembelajaran anak seharusnya terjadi secara alamiah. Anak-anak seharusnya tidak dipaksa dan ditekan untuk belajar terlalu banyak dan terlalu dini dalam perkembangan mereka, sebelum mereka siap dan matang. Banyak orang tua menghabiskan berjam-jam setiap harinya memegang kartu-kartu bertuliskan kata-kata tertentu untuk meningkatkan kosakata bayi mereka. Dalam pandangan penganut paham Piaget, hal seperti itu bukanlah cara terbaik bayi belajar. Penekanan semacam itu menimbulkan beban dalam mempercepat perkembangan intelektual, menjadikan proses pembelajaran bersifat pasif dan tidak membawa hasil yang diharapkan.
f. Ubahlah Ruang Kelas menjadi Ruang untuk Eksplorasi dan Penemuan.
Guru-guru menekankan eksplorasi dan penemuan murid. Ruang-ruang kelas memiliki struktur yang berbeda dari ruang kelas pada umumnya. Buku-buku kerja dan tugas-tugas tidak digunakan. Guru-guru justru mengobservasi minat para murid dan partisipasi alami mereka dalam aktivitas-aktivitas yang menentukan jalannya pembelajaran. Sebagai contoh, sebuah pelajaran matematika mungkin disusun seputar menghitung uang makan siang atau membagi bekal. Seringkali, permainan digunakan untuk menstimulasi pemikiran matematis. Contohnya domino mengajari anak kombinasi bilangan genap. Guru-guru mendorong interaksi antarmurid selama pelajaran dan permainan berlangsung karena perbedaan sudut pandang murid justru memberikan kontribusi terhadap kemajuan berpikir mereka. Selain itu, untuk meningkatkan pembelajaran yang optimal lakukan juga pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan Terpusat pada Anak
Salah satu sumbangan piaget yang sangat berarti bagi dunia pendidikan adalah bahwa pada hakikatnya jalan pikiran anak terhadap dunia sekitar. Guru harus menyadari hal ini dan mengobservasi anak dengan cermat untuk menemukan perspektifnya yang unik. Jadi dalam hal ini yang terpenting adalah sisi sensitifitas guru.
b. Aktivitas
Untuk bisa mempelajari sesuatu, anak membutuhkan kesempatan untuk melakukan tindakan terhadap objek yang dipelajari. Konsep piaget bahwa bagi individu berapapun umurnya proses belajar yang paling baik didapatkan dari aktivitas yang merupakan inisiatif sendiri, sangat penting implikasinya di bidang pendidikan. Piaget selalu menekankan perlunya aktivitas tersebut baik fisik maupun mental. Menurut piaget mengetahui suatu objek adalah dengan melakukan sesuatu pada objek tersebut. Oleh karena itu, dalam aspek ini tugas guru adalah mendorong aktivitas anak didiknya. Guru hendaknya memaparkan materi atau situasi yang mendorong anak untuk merancang eksperimennya sendiri. Hal ini mengarahkan anak pada pengetahuan yang lebih mendalam dan tersimpan dalam memori jangka panjang dari pada sekedar ingatan terhadap fakta-fakta yang diinformasikan oleh guru atau dari buku-buku teks.
c. Belajar secara Individual
Menurut Piaget, struktur kognitif anak yang berinteraksi dengan pengalaman baru menimbulkan minat dan menstimulasi perkembangan kognitif yang lebih lanjut. Minat belajar akan dimudahkan oleh adanya pengalaman baru yang selain relevan dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya, juga cukup berbeda sehingga menimbulkan konflik pada anak. Oleh karena itu, pada usia yang sama struktur kognitif anak berbeda satu dengan yang lainnya. Hal yang menarik bagi mereka pun tidaklah sama, sehingga sebaiknya belajar secara individual dengan kebebasan pada tugas yang dipilihnya sendiri. Guru dapat mengkoordinasikan ajaran individu dan kelompok. Sesungguhnya yang dibutuhkan murid adalah kesempatan untuk belajar dalam lingkungan yang kaya, dimana lingkungan tersebut secara potensial mengandung elemen-elemen yang menarik. Murid membutuhkan guru yang sensitif terhadap kebutuhan kognisinya. Selain itu, murid membutuhkan guru yang dapat menilai materi apa yang akan menantang bagi muridnya pada waktu tertentu, dapat mengevaluasi tahap kognisi murdinya serta menyajikan ide-ide baru yang konsisten dengan perkembangan kognisinya. Guru hendaknya juga dapat menyajikan pengetahuan dengan cara menarik minat dan mendorong aktivitas anak, serta dapat membantu murid bila diperlukan.
d. Interaksi Sosial
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan adalah pengalaman sosial atau interaksi dengan orang lain, memang mula-mula anak mempunyai pikiran egosentris dalam arti anak hanya memandang orang lain, objek atau kejadian sekitarnya dalam kaitan dengan dirinya sendiri. Hal ini berarti bahwa pandangannya terhadap realitas tidak obyektif. Dalam perkembangan kemudian, anak mampu mengerti sudut pandang orang lain. Mulai saat itulah terbentuk pengertian yang lebih obyektif terhadap realitas, sehingga salah satu cara untuk mengurangi egosentrisme adalah interaksi sosial. Bila anak berbicara dengan orang lain, ia akan sampai kesadaran bahwa cara pandang terhadap sesuatu bukanlah satu-satunya cara pandang. Orang lain pun mempunyai pandangan sendiri yang mungkin berbeda dengan pandangan anak. Interaksi sosial mengarahkan anak pada penyusunan argumentasi dan diskusi, sehingga cara pandang anak dipertanyakan kebenarannya dan si anak harus mempertahankan dan membuktikan kebenaran cara pandanganya. Tindakan ini memaksa anak memperjelas cara pandangnya sendiri agar dapat meyakinkan orang lain. Dengan demikian, interaksi sosial akan menolong anak mengenal kekurangan dalam pikirannya sendiri dan memaksanya untuk melihat cara pandang orang lain, yang ungkin menimbulkan konflik dengan cara pandangnya sendiri. Konflik semacam itu merupakan salah satu mekanisme dari perkembangan. Implikasi pandangan piaget ini ialah bahwa peranan interaksi sosial di sekolah perlu dibina. Murid-murid perlu bertukar pengalaman, memberikan alasan dan mempertahankan pendapatnya. Semua hal tersebut merupakan cara yang penting untuk memperoleh pengetahuan.
2. Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky dalam Pendidikan
a. Menyusun rencana pembelajaran kooperatif di antara kelompok-kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda. Pengajaran pribadi oleh teman sebaya yang lebih kompeten dapat berjalan efektif sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan pada zona perkembangan proksimal (Das, 1995), demikian pula interaksi di sekitar tugas-tugas yang rumit (Roth & Lee, 2007).
b. Pendekatan pengajaran menekankan pentanggaan(scaffolding), dengan siswa yang memikul makin banyak tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri. Guru memimpin kelompok-kelompok kecil siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang bahan ajar yang telah mereka baca dan secara bertahap mengalihkan tanggung jawab untuk memimpin diskusi kepada siswa (Pallincsar, Brown & Martin, 1987).
Selain itu, untuk mengoptimalkan perkembangan berdasarkan teori perkembangan kognitif Vygotsky dalam hal implikasi utama teori pembelajarannya yaitu:
a. Menilai ZPD Anak
Seperti Piaget, Vygotsky tidak merekomendasi tes-tes formal terstandarisasi sebagai cara terbaik dalam menilai kegiatan pembelajaran anak-anak. Bahkan Vygotsky berpendapat bahwa penilaian seharusnya berfokus penentuan zona perkembangan proksimal anak. Seorang pelatih yang terampil akan menyajikan kepada anak tugas-tugas dengan kesulitan yang bervariasi untuk menentukan level yang terbaik dalam menilai instruksi.
b. Menggunakan Zona Perkembangan Proksimal dalam Mengajar
Mengajar sebaiknya dimulai dengan mengarah daerah batas atas, supaya anak dapat meraih sasaran melalui bantuan serta beranjak ke levelketerampilan dan pengetahuan yang lebih tinggi. Tawarkan bantuan secukupnya. Anda dapat bertanya “apa yang dapat saya lakukan untuk membantumu?” atau cukup sekedar mengobservasi intensi-intensi dan usaha-usaha anak serta menyediakan dukungan apabila diperlukan. Ketika anak ragu-ragu, besarkan hatinya. Doronglah juga agar anak melatih keterampilan tersebut. Anda dapaat memperhatikan dan menghargai latihan anak dan menawarkan dukungan ketika anak lupa apa yang harus diperbuat.
c. Menggunakan Kawan-Kawan Sebaya yang Lebih Terampil sebagai Guru
Ingatlah bahwa tidak hanya orang dewasa yang dapat berperan penting dalam membantu anak-anak belajar. Anak-anak juga memperoleh keeuntungan melalui dukungan dan bimbingan yang diberikan oleh anak-anak yang lebih terampil.
d. Tempatkan Intsruksi di dalam Konteks yang Bermakna
Kini para pendidik sudah meninggalkan penyajian materi secara abstrak, kini mereka lebih banyak menyediakan kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar di dalam lingkungan dunia yang nyata. Sebagai contoh, daripada hanya sekedar mengingat rumus matematika para siswa bekerja menyelesaikan soal-soal matematika dengan implikasi-implikasinya di dunia nyata.
e. Mengubah Ruang Kelas dengan Ide-Ide Vygotsky
ZPD adalah elemen kunci intstruksi program ini. Anak-anak dapat membaca suatu cerita kemudian menginterpretasikan artinya. Sebagian besar aktivitas itu dilakukan dalam kelompok kecil. Semua anak menghabiskan waktu paling tidak 20 menit setiap pagi dalam sebuah setting yang disebut “center one”. Dalam konteks ini scaffolding digunakan untuk meningkatkan keterampilan literasi para siswa. Guru bertanya, merespon pertanyaan, serta membangun ide-ide yang dihasilkan oleh siswa.
3. Implementasi Teori Perkembangan Moral dalam Pendidikan
Pembentukan perilaku moral pada anak, memerlukan perhatian dan pemahaman terhadap dasar-dasar serta berbagai kondisi yang mempengaruhi dan menentukan perkembangan perilaku moral. Pembentukan perilaku moral pada anak dapat terjadi melalui atau tanpa intervensi yang terencana, sistematis, dan berlanjut dari lingkungan. Dalam berbagai studi dan penelitian di bidang psikologi anak, khususnya berbagai aplikasi psikologi dalam pemeliharaan dan perawatan bayi baik yang masih dalam kandungan maupun pasca kelahiran ditemukan berbagai hasil observasi perilaku baik emosional, intelektual, moral dan spiritual anak. Ada tiga strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini menurut Coles, yaitu (1) latihan (training) dan pembiasaan (habituation), (2) aktivitas bermain, serta (3) pembelajaran.
1. Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan-latihan dan pembiasaan moral bagi bayi dilakukan melalui pelayanan kebutuhan yang tetap dan kontinyu. kehadiran dan dekapan ibu terhadap bayi dalam ruang dan waktu yang dibutuhkan adalah bagian dari pembentukan sikap dan perilaku moral anak. Meskipun konsep moral pada bayi itu masih didasarkan kepada dorongan (instink) yang tidak disadari yang digerakkan oleh pleasure principle, tetapi pemenuhan kebutuhan ini sangatlah strategis dalam pembentukan kepribadian anak, termasuk moralitasnya. Bila relasi dan interaksi antara ibu, pengasuh, atau lingkungan dekat gagal memenuhi kebutuhan biologis anak akan muncul kecemasan (anxiety) yang apabila tak terkemdali mengakibatkan munculnya gangguan dalam perkembangan kepribadian (mental disorder) pada anak dikemudian hari. Latihan-latihan moral pada anak berbasis pemenuhan kebutuhan berorientasi kepada pemberian rasa aman kenikmatan dan menghindari hal-hal yang mendatangkan rasa sakit. Misalnya, ketika bayi kencing atau buang tinja, sesegera mungkin diganti popoknya. Jika bayi sudah disusui masih menangis, kemungkinan ada yang tidak beres dengan kesehatannya, mungkin perutnya sakit atau ada bagian tubuh lainnya yang sakit. Hal ini perlu segera diatasi sehingga anak mendapatkan rasa tubuh yang sehat dan nyaman.
2. Strategi Aktivitas Bermain
Bermain adalah salah satu kebutuhan dasar dalam perkembangan anak. Aktivitas bermain muncul sebagai mekanisme dari dalam diri untuk meredakan ketegangan energi hingga mencapai kepuasan. Dorongan bermain muncul tanpa ada unsur paksaan dan tidak mempunyai tujuan kecuali pada permainan itu sendiri apakah mendatangkan kepuasan akan dicoba lagi hingga dicapai kepuasan tertentu, atau dicari bentuk permainan lain yang lebih mendatangkan kepuasan kepada anak. Aktivitas bermain pada anak sesungguhnya mempunyai manfaat psikologis yang penting bagi berbagai aspek perkembangan diri, seperti aspek intelektual, emosional, sosial, dan moral. salah satu manfaat dari kegiatan bermain yang terkait dengan perkembangan moral yaitu anak belajar mematuhi aturan-aturan yang berlaku dalam sebuah permainan serta belajar menerima hukuman jika seseorang bermain tidak mengikuti aturan atau bermain curang. jadi melalui aktivitas bermain anak belajar jujur dan menaati semua ketentuan yang disepakati dalam permainan. Terdapat berbagai jenis aktivitas bermain atau permainan dalam pengembangan aspek moral yaitu: permainan fungsi, permainan eksploratif, permainan konstruktif, permainan destruktif, permainan yang terorganisasi, permainan reseptif maupun bermain peran. Semua jenis permainan tersebut merupakan strategi atau cara yang dapat digunakan guru atau orang dewasa dalam mengembangkan aspek moral terhadap anak usia dini.
3) Strategi pembelajaran
Upaya untuk pengembangan sikap dan perilaku moral anak usia dini dapat dilakukan melalui strategi pembelajaran moral (moral education). Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan. tujuan utama dari pembelajaran moral adalah membantu anak mengembangkan kemampuan belajar menginternalisasikan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang menuntun perilaku dan pengambilan keputusan.
4. Implementasi Teori Perkembangan Bahasa dalam Pendidikan
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dipergunakan mengimplementasikan teori perkembangan bahasa dalam proses pendidikan:
1) Pendekatan Bermain
Pendekatan yang dipandang tepat diterapkan pada anak adalah pendekatan bermain (play approach) karena dunia anak adalah dunia bermain. Bermain merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Melalui bermain secara tidak langsung anak dituntut untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan mainannya, karena setiap permainan mempunyai aturan-aturan yang harus dipahami anak. Dalam kegiatan bermain bersama, anak dapat terdorong untuk memperhatikan dan menirukan bicara atau suara teman bermainnya atau memperagakan penggunaan mainannya dengan atau tanpa bicara.
2) Pendekatan Multisensoris
Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak, kita perlu memberikan berbagai stimulus yang dapat mestimulasi berbagai indera atau sensoris, seperti indera visual, auditif, dan kinestetik.
3) Pendekatan Multidisipliner atau Kolaboratif
Gangguan berbahasa baik secara ekspresif maupun reseptif memerlukan penanganan secara terpadu (Tim) yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu atau tenaga ahli agar memperoleh hasil yang efektif. Tenaga ahli tersebut terdiri dari dokter, psikolog, pedagog atau ortopedagog dan speech terapist. Para ahli tersebut dapat berkolaborasi dalam memberikan intervensi secara dini terhadap anak yang mengalami gangguan bahasa. Kolaborasi tersebut penting juga dilakukan dengan orang tua atau orang terdekat anak sehingga mereka dapat memberikan latihan-latihan yang mendukung terhadap intervensi yang dilakukan di sekolah.
Di samping pendekatan di atas, ada beberapa metode yang dapat dipergunakan dalam mengatasi atau mengintervensi anak yang mengalami gangguan bahasa antara lain:
1) Metode Stimulasi
Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap suatu stimulus melalui pendengaran dan atau penglihatan anak. Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki anak, kita telah memberikan stimulus melalui penglihatan dan atau pendengarannya. Melalui cara ini anak akan menerima cara bicara yang benar, kemudian dibandingkan dengan konsep bicaranya yang salah. Bila cara bicara yang benar tadi semakin diperkuat dengan diulang terus-menerus, maka akan terjadi proses perpindahan dari bicara yang salah menjadi bicara yang benar secara menetap. Metode ini dapat juga digunakan untuk menanamkan pengertian bahasa dengan cara menstimulasi anak melalui berbagai media yang menarik perhatian anak, seperti gambar dan foto. Dalam menanamkan pengertian bahasa pada anak, penting untuk selalu memperbincangkan hal-hal yang mengasyikan bagi anak. Kata-kata dan artinya paling baik dipelajari dalam keadaan sewaktu bermain.
2) Metode Phonetics Placement
Pelaksanaan metode ini menuntut anak untuk memperhatikan gerakan dan posisi organ bicara, sehingga anak mampu mengendalikan pergerakan organ bicara untuk memproduksi bicara yang benar.
3) Metode Moto-Kinestetik
Metode ini disebut juga metode manipulasi. Dengan metode ini kita dapat memanipulsi secara langsung pada organ artikulasi yang dipandang perlu.
4) Metode Psiko-Edukatif
Metode ini didasarkan pada prinsip-prinsip psikoterapi, bimbingan dan konseling, serta pendidikan. Dengan metode ini kita dapat menanamkan konsep berbicara dan berbahasa yang benar melalui berbagai alternative kepada anak untuk mengganti atau menghilangkan konsep bicara dan bahasa yang salah. Metode ini dapat diberikan melalui teknik-teknik play-therapy dan role playing dramatisasi.
5) Metode Compensatory Pattern
Penerapan metode ini sangat khas karena motode ini hanya diberikan kepada anak dengan kesulitan mengekspresikan bahasa melalui bicara, yang tidak mungkin lagi melakukan bicara secara normal. Jadi pada prinsipnya metode ini merupakan alterntif cara komunikasi yang baru untuk menggantikan cara berkomunikasi normal (bicara) yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan anak
Posting Komentar